PERLINDUNGAN HUTAN,

BAHAN KULIAH
   
OLEH


DJUMALI MARDJI




FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

2011

I. PENDAHULUAN

Perlindungan hutan dalam arti luas, seperti yang dicakup dalam tugas Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Kementerian Kehutanan meliputi perlindungan hutan terhadap berbagai jenis gangguan oleh manusia, hewan, tumbuhan dan keadaan fisik-kimia alam (Hadi, 2001).
Yang termasuk gangguan oleh manusia adalah perambahan kawasan hutan, perladangan berpindah, penebangan secara tidak terkendali, penebangan liar (illegal logging) dan kebakaran akibat kelalaian maupun disengaja.
Contoh gangguan oleh hewan adalah perusakan tanaman oleh rusa, biji-biji oleh burung, tikus dan serangga yang dapat terjadi baik di persemaian maupun di pertanaman, sedang contoh tumbuhan yang biasa mengganggu adalah gulma, benalu, jamur/fungi serta bakteri.
Contoh faktor fisik-kimia alam yang dapat juga mengganggu pertumbuhan pohon hutan adalah angin yang kuat, halilintar/petir yang dapat mematikan pohon atau menimbulkan kebakaran serta keadaan tanah dan iklim lingkungan tempat tumbuh.
Hutan dapat terganggu oleh salah satu atau oleh kombinasi dua atau lebih faktor-faktor pengganggu tersebut.

Dalam Pasal 47 UU No. 41 Tahun 1999 disebutkan, bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a.    Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama serta penyakit.
b.   Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Dalam usaha orang untuk membuat lahan menjadi lebih produktif, seperti halnya dalam pertanian, juga dalam kehutanan diikuti oleh berbagai gangguan. Dalam hutan alam, walau gangguan itu ada, biasanya tidak begitu terasa seperti halnya dalam hutan tanaman yang terdiri atas tanaman sejenis dalam areal yang luas. Karena keinginan orang untuk menanam jenis-jenis yang memiliki sifat-sifat yang dikehendaki, sering diambil jenis-jenis yang berasal dari lain tempat. Bersama tindakan tersebut secara tidak sadar sering juga terbawa penyakit yang di tempat asalnya tidak terlihat, sehingga tidak menimbulkan kerugian, tetapi di daerah baru dapat menyebabkan timbulnya bencana. Bencana tersebut dapat terjadi pada jenis yang didatangkan atau pada jenis asli di daerah baru tersebut. Ada kalanya penyebab penyakit yang sudah lama berada di daerah baru tersebut tidak dapat berkembang dan merugikan karena tidak adanya inang yang sesuai. Tetapi dengan kedatangan inang baru, penyebab penyakit mungkin dapat memperoleh inang yang sesuai dan dengan demikian berkembang dengan pesat serta menimbulkan kerugian yang berat pada jenis tanaman pendatang. Kadang-kadang suatu jenis tanaman didatangkan dengan tujuan yang tidak untuk dikonsumsi seperti untuk penutupan tanah atau untuk tujuan yang lain, tetapi akhirnya berkembang menjadi gulma dan dapat menimbulkan bencana bagi jenis tanaman yang dibudidayakan (lihat gambar).

Demikianlah antara lain mengapa dengan usaha orang untuk membuat lahan menjadi lebih produktif kerapkali diikuti oleh gangguan berbentuk penyakit. Masalah tersebut perlu diperhatikan bila ingin berhasil dalam pengusahaan hutan secara lestari. Tindakan-tindakan perlindungan hutan perlu dilakukan agar dapat memanfaatkan sumber alam hayati bagi kesejahteraan masyarakat, baik berupa hasil hutan maupun berupa lingkungan hidup yang sangat diperlukan.


Tanaman buah-buahan yang menderita karena kekurangan unsur hara
Tanaman Acacia mangium dan rambutan yang terserang tanaman penutup tanah
(cover crop)



Areal yang tanamannya telah mati akibat tanaman penutup tanah yang tidak dipelihara

II. DEFINISI DAN ISTILAH

Ilmu Perlindungan Hutan ialah ilmu yang mempelajari tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit pada tanaman kehutanan yang disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik. 

Ilmu Penyakit Hutan ialah ilmu yang mempelajari tentang faktor biotik dan abiotik yang dapat menyebabkan sakit pada tanaman kehutanan dan hasil hutan sehingga timbul kerugian.

Ilmu Hama Hutan ialah ilmu yang mempelajari tentang semua binatang/hewan yang menimbulkan gangguan, kerusakan dan kerugian secara ekonomi, baik terhadap kualitas maupun kuantitas pohon atau tanaman kehutanan.

Penyebab penyakit hutan (patogen) menurut Manion (1981) terdiri atas:
Faktor abiotik ® iklim/cuaca (suhu dan kelembapan udara, curah hujan, sinar matahari, angin), tanah (suhu dan kelembapan tanah, pH, aerasi, air, bahan kimia, jenis, struktur, tekstur), bahan kimia (pestisida, pupuk, polutan) dan api (kebakaran hutan).
Faktor biotik ® mikroorganisme (virus, bakteri, mikoplasma, spiroplasma, riketsia, jamur, nematoda). Makroorganisme [tumbuhan tingkat tinggi (benalu, gulma), kutu, bekicot, ulat, serangga, burung, satwa mammalia (orang utan, monyet, rusa, babi), manusia].

Jadi istilah “penyakit hutan” sudah termasuk di dalamnya penyakit yang disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik. Istilah “diserang penyakit” adalah tidak tepat digunakan, karena penyakit adalah akibat (hasil, proses) dari suatu penyebab (patogen). Yang tepat adalah disebutkan penyebabnya dari faktor biotik, yaitu diserang patogen, virus, bakteri, bekicot dsb. Untuk faktor abiotik contohnya: rusak/sakit akibat angin, banjir, sinar dsb.
Istilah “hama dan penyakit” juga tidak tepat, karena menurut definisi di atas, bila disebut penyakit sudah termasuk hamanya, jadi sebaiknya disebut “penyakit” saja atau “hama” saja.

Gejala serangan (symptom): perubahan proses fisiologis dan sifat morfologis dari yang normal menjadi tidak normal yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab penyakit.

Tanda serangan (sign): semua faktor penyebab penyakit, baik faktor biotik maupun abiotik yang ditemukan pada bagian tumbuhan yang terserang.

Pembagian gejala penyakit:
a. Gejala nekrotik: gejala yang disebabkan kerusakan atau matinya sel. Contoh:
1.      Nekrosis (necrosis): sekumpulan sel-sel yang terbatas pada jaringan tertentu mengalami kematian, sehingga timbul bercak-bercak atau noda-noda berwarna coklat atau hitam. Contoh: bercak daun.
2.      Hawar (blight): sekumpulan sel-sel yang terbatas pada jaringan tertentu mengalami kematian, sehingga berubah warna menjadi coklat atau hitam yang melebar lebih lebar daripada bercak. Contoh: hawar daun, hawar batang.
3.      Kanker (canker): sel-sel yang mati pada bagian tanaman yang berkayu, dibatasi dengan kallus, kulit luar pecah-pecah dan tempat infeksi kadang agak membengkak atau mengempis.
4.      Lodoh (damping off): kematian sel-sel pangkal batang dan akar pada semai yang masih sangat muda.
5.      Mati pucuk (dieback): kematian pucuk atau sebagian tajuk tanaman bagian pucuk, kadang bisa sampai seluruh tajuk mati bila patogen berkembang ke arah bawah.
6.      Busuk (rot, decay): matinya jaringan tanaman pada bagian tertentu yang masih lunak atau yang banyak mengandung air seperti buah, batang dan akar.
7.      Terbakar matahari (sun scald): matinya sel-sel pada bagian tertentu dari tanaman akibat sinar matahari.
8.      Terbakar bukan oleh sinar matahari (scorch): matinya sel-sel pada bagian tertentu dari tanaman akibat api, suhu tinggi atau bahan kimia.

b. Gejala atrofi (hypoplastis): gejala yang menunjukkan adanya pertumbuhan yang terhambat atau terhenti sama sekali yang disebabkan oleh proses pembelahan sel yang tidak normal.
Contoh:
1.      Kerdil (stunt): pertumbuhan sel-sel pada batang, cabang, ranting, daun atau buah terhambat, sehingga ukurannya lebih kecil dari yang normal.
2.      Klorosis (chlorosis): menguningnya atau pucatnya daun muda akibat kerusakan klorofil atau daun tidak mampu membentuk klorofil.
3.      Etiolasi (etiolation): pertumbuhan batang yang memanjang dengan cepat tetapi warnanya pucat dan daunnya menguning karena kekurangan sinar.
4.      Roset (rosette): pertumbuhan batang tanaman terhambat sehingga tangkai-tangkai daun atau cabang-cabang berada dalam jarak yang rapat.

c. Gejala hipertrofi (hyperplastis): gejala yang menunjukkan adanya pertumbuhan yang melebihi dari ukuran normal yang disebabkan oleh proses pembelahan sel yang tidak normal.
Contoh:
1.      Menyapu (sapu setan, witches broom): tumbuhnya tunas atau cabang-cabang secara berlebihan pada satu tempat pada satu pohon.
2.      Tumor (gall, cecidia): pembengkakan setempat berupa bintil-bintil atau bisul-bisul yang terdiri dari jaringan tumbuhan yang biasanya terjadi pada daun, batang, cabang dan tunas. Bila penyebabnya dari golongan tumbuhan, maka disebut phytocecidia dan bila penyebabnya dari golongan binatang disebut zoocecidia.
3.      Resinosis: pengeluaran resin (getah) secara berlebihan dari kulit akar, batang, cabang atau buah.

Pada dasarnya semua tumbuhan dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
a.  Autofita (autotrophic, independent plants): tumbuhan yang mengolah makanannya sendiri karena mempunyai klorofil. Disebut juga tumbuhan tingkat tinggi.
b.  Heterofita (heterotrophic, dependent plants): tumbuhan yang hidupnya tergantung dari kehidupan organisme lainnya atau dari sisa-sisa bahan organis karena mereka tidak mempunyai klorofil, sehingga tidak dapat mengolah bahan makanannya sendiri. Disebut juga tumbuhan tingkat rendah.
Tumbuhan heterofita terdiri atas:
a. Parasit: organisme yang dalam hidupnya menggunakan makanan yang berasal dari bagian yang hidup atau yang mati dari inangnya.
b.  Saprofit: organisme yang tumbuh pada organisme mati atau media buatan atau pada organisme hidup tetapi tidak mengambil makanan dari dalam organisme tersebut.

Ada organisme yang sebagian hidupnya dijalani sebagai parasit dan sebagai saprofit, jadi ada parasit dan saprofit obligat dan fakultatif.
a.  Parasit obligat: organisme yang tidak dapat hidup tanpa memparasiter, jadi harus mendapatkan makanannya dari organisme hidup lainnya.
    Disebut juga holo parasite, complete parasite, true parasite dan strict parasite. Contoh: virus, jamur embun tepung (powdery mildew), jamur karat (rust).
b.  Parasit fakultatif: organisme yang biasanya hidup sebagai saprofit tetapi dapat hidup sebagai parasit bila menemui inangnya yang cocok. Disebut juga hemi saprophyte atau occasional parasite. Contoh: Phytophthora, Pythium, Sclerotium, bakteri.
c.  Saprofit obligat: organisme yang sama sekali tidak dapat mengambil makanannya dari jaringan hidup, melainkan dari bahan organis yang telah mati. Disebut juga holo saprophyte atau true saprophyte. Contoh: jamur kuping (Auricularia auricula), jamur sarang burung (Crucibulum levis), jamur merang (Volvariella volvacea). 
d.  Saprofit fakultatif: organisme yang biasanya hidup sebagai parasit tetapi hidupnya dapat berubah menjadi saprofit bila terpaksa, misalnya kalau inangnya mati. Disebut juga hemi-, semi-, partial- atau water parasite. Contoh: Corticium salmonicolor, Ganoderma applanatum, Fomes annosus.

Menurut Boyce (1961), Manion (1981), Semangun (1996), Dwidjoseputro (2003), virus ialah mikroorganisme berukuran panjang 2~20 nano meter (1 nm = 0,001 mm. 1 mm = 0,001 mm. 1 nm = 0,000001 mm), ada juga yang panjangnya 300 nm, diameternya antara 16~80 nm, berbentuk benang, tongkat atau bulat, memiliki asam inti ribonucleic acid (RNA) dan atau deoxyribonucleic acid (DNA), tidak mengadakan respirasi dan metabolisme, tidak membelah diri tetapi dapat memperbanyak diri dengan mempengaruhi sel inang untuk membentuk virus baru, yaitu dengan “membelokkan” metabolisme sel untuk membuat bahan pembentuk virus yang seharusnya membentuk produk-produk sel yang normal. Para pakar menganggap virus adalah organisme hidup yang masih primitif, karena hanya mempunyai asam inti yang berfungsi dalam perkembangbiakan sebagaimana organisme hidup lainnya. Tetapi karena tidak mengadakan respirasi dan metabolisme, maka disimpulkan bahwa virus adalah mahluk yang terletak antara hidup dan mati. Asam inti tersebut terbungkus oleh protein dan dapat mengristal. Dengan adanya proses membelah diri di dalam sel inangnya, maka terjadi gangguan pada sel tersebut.



Contoh berbagai jenis virus

Menurut Boyce (1961), Manion (1981), Dwidjoseputro (2003), bakteri ialah tumbuhan tingkat rendah yang panjangnya 1~15 µm, diameter 0,2~2,5 µm, ada yang mempunyai klorofil dan ada yang tidak, bersel satu dan berdinding sel yang mengandung nitrogen yang diselimuti gelatin, ada yang mempunyai rambut (flagella, cilia) dan ada yang tidak, ada yang dapat membentuk spora dan ada yang tidak, inti selnya tidak berdinding (prokariot), selnya tidak mempunyai mitochondria, tubuh Golgi, reticulum endoplasma, ribosom dan vakuola. Hidupnya secara saprofit dan atau parasit, berkembang biak dengan cara asexual dan sexual.

Contoh berbagai jenis bakteri

Menurut Freundt (1981), mikoplasma ialah tumbuhan bersel satu, bentuknya bervariasi, sering berubah-ubah karena tidak mempunyai dinding sel, selnya mengandung protoplasma yang terdiri dari ribosom dan inti sel, diameter selnya 250~300 nm.

Mycoplasma-like organisms (MLO) di dalam jaringan floem

Menurut Freundt (1981), spiroplasma ialah tumbuhan bersel satu, berbentuk spiral, panjangnya 2~4 µm, inti sel dan tubuhnya tidak mempunyai dinding, bentuknya sering berubah-ubah.
Spiroplasma citri. Garis = 500 nm. Tanda panah adalah bagian yang akan membelah diri

Menurut Freundt (1981), rickettsia ialah tumbuhan bersel satu, panjangnya 0,6~2,0 µm dan diameternya 0,3~0,5 µm, inti sel dan tubuhnya tidak mempunyai dinding, bentuknya sering berubah-ubah.
The image “http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/86/Rickettsia_rickettsii.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Ricketsia rickettsii

Menurut Boyce (1961), Suratmo (1978), Hadi (2001), Dwidjoseputro (2003), jamur ialah tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai klorofil, tidak mempunyai perbedaan batang, daun dan akar (tidak mempunyai diferensiasi/thallophyte], tubuhnya terdiri atas satu sel atau lebih berupa benang-benang bercabang-cabang yang disebut hifa atau miselium, selnya ada yang bersekat dan ada yang tidak, tiap sel berinti satu atau lebih, hidup secara saprofit dan atau parasit, berkembang biak dengan cara asexual dan sexual.

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f6/Mushroom%27s_roots_%28myc%C3%A9lium%29.jpg

Contoh berbagai jenis jamur
Menurut Manion (1981), Semangun (1996), nematoda ialah sejenis binatang yang sangat kecil, panjangnya 0,5 sampai 2,5 mm, berbentuk bulat panjang seperti cacing, tidak beruas-ruas, hidup secara saprofit di dalam air tawar, air laut atau tanah atau secara parasit pada tumbuhan dan hewan, berkembang biak dengan cara asexual (parthenogenesis) dan sexual.

Nematoda yang mempunyai alat isap (stylet)
The image “http://cisr.ucr.edu/images/nematode02.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Nematoda sedang menyerap isi sel akar
Nematoda yang berada di dalam akar
The image “http://www.nikonsmallworld.com/images/gallery2003/fourbythree/hm_3532_Photo1.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Nematoda predator sedang memakan namatoda lain


Contoh berbagai jenis nematoda



III. HUBUNGAN ILMU PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN ILMU LAIN

Fisiologi tumbuhan adalah pengetahuan yang sangat erat hubungannya dengan perlindungan hutan. Penyakit telah didefinisikan sebagai proses fisiologis yang abnormal, sehingga ilmu penyakit tumbuhan banyak berkaitan dengan proses fisiologis yang abnormal. Contoh: kekurangan unsur mikro seperti Mn (mangan), Zn (seng) dan Bo (boron), terganggunya proses fotosintesis, kerusakan pembuluh kayu dsb. akan menyebabkan terjadinya gejala penyakit.

Ilmu anatomi dan morfologi berperan penting dalam perlindungan tanaman. Sifat-sifat anatomi dan morfologi tanaman berpengaruh terhadap serangan patogen, begitu juga serangan patogen berpengaruh terhadap anatomi dan morfologi tanaman. Contoh: perubahan warna dan bentuk bagian tertentu dari tanaman akibat serangan patogen seperti bercak daun, kanker batang, busuk akar dsb. Dengan adanya serangan patogen, tanaman dapat membentuk jaringan pelindung untuk mempertahankan diri dari meluasnya serangan.

Penggunaan ilmu genetika dalam perlindungan tanaman semakin banyak dilakukan, karena adanya sifat tanaman terhadap serangan patogen, yaitu rentan dan resisten. Dengan ditemukannya hukum Mendel, maka orang dapat merekayasa tanaman dari rentan menjadi resisten agar diperoleh produksi yang tinggi. Selain tanamannya yang direkayasa, patogennya juga bisa direkayasa agar tidak berkembang menjadi banyak, misalnya dengan melepaskan individu-individu serangga yang mandul yang nantinya akan berkopulasi dengan yang normal, sehingga akan menghasilkan keturunan yang lebih banyak mandul daripada yang normal.

Taksonomi dan geografi tumbuhan juga berperan penting dalam perlindungan tanaman. Dengan diketahuinya hubungan kekerabatan suatu tumbuhan, maka akan dapat dilakukan persilangan, sehingga diperoleh tanaman yang unggul, yaitu berproduksi tinggi dan tahan terhadap penyakit. Jenis tanaman yang berasal dari suatu tempat tertentu mungkin lebih tahan terhadap penyakit daripada tanaman yang endemik atau sebaliknya. Letak suatu tapak juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan patogennya, seperti perbedaan tinggi tempat dari permukaan laut, perbedaan kondisi iklim, dsb.

Ilmu biokimia merupakan pengetahuan yang cepat berkembang dan mempunyai sumbangan yang besar untuk menerangkan proses yang abnormal dalam gangguan tanaman. Peranan toksin dalam perkembangan gejala merupakan masalah biokimia yang sangat menarik, terutama dalam hal penyakit layu. Banyak ahli penyakit tumbuhan berpendapat bahwa toksin adalah penyebab penyakit layu (Gäumann, 1954). Pekerjaan biokimia yang ada hubungannya dengan ketahanan tanaman telah banyak dilakukan seperti isolasi asam protocatechuat dan catechol dari kulit luar bawang bombay yang mempunyai pigmen berwarna (Walker dan Stahmann, 1955). Bawang bombay semacam ini mempunyai ketahanan terhadap Colletotrichum circinans (Berk.) Vogl. Banyak jenis biokimia yang dihasilkan oleh tumbuhan berguna untuk bahan obat-obatan bagi manusia.

Ilmu kimia berperan penting dalam perlindungan tanaman. Perlakuan benih dengan fungisida sekarang sudah umum dilakukan terutama terhadap biji-bijian guna mencegah penyakit lodoh (damping off). Protektan biji seperti Thiram dan Captan telah banyak dipakai di samping senyawa Cu (tembaga). Antibiotika seperti rimocidine telah dapat diisolasi dari spesies Streptomyces tertentu yang menunjukkan sifat sistemik, yaitu dapat mengadakan penetrasi melalui kulit biji sehingga dapat membunuh patogen yang ada di dalamnya seperti Ascochyta pisi pada biji kacang kapri (Dekker, 1957). Memberantas penyakit karena jamur terbawa tanah tetap masih mengalami kesukaran, namun beberapa jenis fungisida baru seperti N-metil ditiokarbamat dapat memberi hasil yang baik. Perlakuan tanah dengan nematisida seperti DD (dichlorpropen-dichlorpropan) memberikan hasil yang sangat baik untuk membunuh nematoda.

Mikrobiologi adalah pengetahuan yang menjadi induk ilmu perlindungan tanaman, karena penyebab penyakit kebanyakan dari jenis-jenis mikroorganisme. Di antara jenis-jenis mikroorganisme ada yang bersifat parasit terhadap tumbuhan dan hewan. Yang bersifat parasit terhadap hewan (serangga) dapat dimanfaatkan untuk pemberantasan secara biologis begitu juga  yang bersifat parasit terhadap parasit lain (disebut hiperparasit).


IV. PENGENDALIAN PENYAKIT TERPADU (PPT)

4.1. Penyebab Timbulnya Penyakit dan Epidemi

Agar suatu penyakit dapat berkembang dengan baik, maka harus ada tumbuhan inang yang rentan, patogen yang ganas (virulen) dan faktor luar (lingkungan) yang sesuai (Manion, 1981). Ketiga faktor ini disebut segitiga penyakit (disease triangle) (lihat gambar bawah). Bila salah satu dari ketiga faktor tersebut tidak sesuai, maka penyakit tidak dapat berkembang. Oleh karena itu dalam melakukan pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara membuat patogen tidak dapat menyerang/berkembang pada inangnya, misalnya dengan mengubah kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman sedemikian rupa, sehingga tidak sesuai bagi kehidupan patogen, seperti penebasan, penjarangan, pemangkasan dsb.
Penyakit yang disebabkan oleh faktor biotik adalah hasil interaksi dari tiga faktor,
yaitu tanaman, patogen dan lingkungan

Epidemi ialah timbulnya penyakit secara meluas, yaitu jumlah tanaman yang terserang relatif sangat banyak pada areal yang luas pada waktu tertentu (tidak terus menerus). Dengan terjadinya epidemi, maka timbul kerugian yang tidak sedikit.

Epidemi disebabkan karena:
a.         Jenis tanaman yang monokultur
b.        Pengelolaan tanaman yang tidak tepat
c.         Menanam jenis yang rentan
d.        Terjadi pemuliaan jenis patogen
e.         Perubahan sifat fisiologis tanaman karena faktor luar yang tidak menguntungkan bagi tanaman tsb
f.         Menanam satu jenis tanaman secara terus menerus
g.        Masuknya patogen ke daerah baru, di mana terdapat makanan yang berkualitas baik dan jumlah individunya banyak 
h.        Musuh alami berkurang, baik jenis maupun jumlah individunya karena perubahan lingkungan
i.          Menanam pada musim yang tidak tepat
j.          Faktor iklim sesuai untuk perkembangan patogen

Pengendalian Penyakit Terpadu (PPT) ialah pencegahan dan pemberantasan penyakit yang menggunakan semua teknik/metode yang sesuai untuk mengurangi individu dan atau populasi patogen sehingga tidak menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil hutan.

4.2. Metode Pencegahan Penyakit Hutan

4.2.1. Dengan cara peraturan dan undang-undang
Cara ini bertujuan untuk menciptakan hutan yang sehat dan resisten terhadap penyakit serta mencegah timbulnya dan penyebaran penyakit tersebut dengan cara:
a. Pengadaan benih atau bibit yang sehat, yang mana benih atau bibit-bibit itu berasal dari pohon-pohon yang sudah dikenal keadaan, asal usul, tempat tumbuh dan daerahnya.

b. Mewajibkan pengelola/pemilik hutan untuk menjaga, mengawasi, memonitor adanya penyakit dan kemudian segera memberantasnya, melarang membakar serasah bagi peladang yang berdekatan dengan hutan.

c. Mencegah masuknya bahan-bahan tanaman ke suatu daerah, yaitu dengan memeriksa apakah bahan-bahan tersebut bebas dari penyakit. Cara ini dikenal dengan karantina. Dapat juga dengan melarang masuknya suatu jenis tanaman tertentu karena dikhawatirkan tanaman tersebut akan terserang patogen di tempat tumbuh yang tidak cocok (asing), walaupun di habitat aslinya bebas dari serangan.

4.2.2. Dengan cara budidaya tanaman
Cara ini bertujuan untuk menciptakan hutan yang sehat dan meningkatkan resistensi pohon-pohonnya terhadap penyebab penyakit dengan cara:
a.        Pemilihan jenis, provenan dan varietas yang dapat menyesuaikan diri dengan habitatnya yang baru. Tanaman harus bisa tumbuh secara maksimal sampai akhir daur sesuai dengan sifat pertumbuhan yang dimiliki oleh jenis pohon tersebut. Benih dari jenis, provenan dan varietas yang dipilih harus yang sudah diketahui tempat asalnya, habitatnya dan pohon induknya (pohon plus), dengan demikian maka penanaman bibit-bibit yang eksot itu disesuaikan dengan habitat induknya. Menanam di tempat yang salah berakibat merananya pohon dan dapat menjadi rentan terhadap penyakit.

b.       Budidaya pohon resisten. Yaitu memilih pohon yang tahan terhadap penyakit di antara jenis, provenan, varietas, klon dan pohon. Dengan mengadakan persilangan dapat juga diperoleh keturunan yang resisten. Memilih pohon yang resisten dapat juga dilakukan di suatu pertanaman yang terserang patogen. Pada akhir daur dipilih pohon-pohon plus dan bebas dari serangan. Cara demikian disebut seleksi alami. Pohon-pohon yang bebas serangan itu kemungkinan besar resisten. Dari pohon ini diperbanyak dengan cangkokan, sambungan atau stek yang kemudian ditanam di kebun benih berupa klon-klon yang relatif jauh dari pertanaman untuk menghindari persilangan secara alami. Di dalam kebun-kebun benih ini klon-klon tersebut diinokulasi dengan patogen yang dianggap sangat merugikan. Dari hasil inokulasi ini dapat diketahui pohon-pohon yang resisten. Percobaan juga dapat dilakukan pada tempat tumbuh yang berbeda seperti di puncak dan lembah, di tanah subur dan kurus dsb untuk mengetahui tingkat resistensi pohon pada habitat yang berbeda. Kalau tidak memungkinkan untuk mencari lokasi kebun benih yang jauh, maka dapat dibuat persilangan tertutup pada waktu pohon sedang berbunga.

c.        Penjarangan dan pemangkasan. Perlakuan ini dapat mengubah iklim mikro di bawah tajuk, seperti suhu udara, kelembapan udara dan sinar. Dengan perubahan tersebut dimaksudkan agar keadaan tempat tumbuhnya tidak sesuai lagi bagi kehidupan patogen. Dengan penjarangan dan pemangkasan akan meningkatkan kesehatan pohon. Contoh: intensitas serangan jamur karat Dothistroma pini pada daun Pinus radiata di New Zealand berkurang setelah diadakan penjarangan dan pemangkasan (Stecker, 1986 dikutip Larsen, tt).

d.       Pengaturan jarak tanam. Biasanya pengaturan jarak tanam disesuaikan dengan tujuan perusahaan, jenis pohon dan cara pemeliharaannya. Misalnya jarak tanam yang rapat untuk memperoleh jumlah kayu sebanyak-banyaknya dengan tidak memperhitungkan kualitasnya ditujukan untuk industri pulp, sedangkan jarak tanam yang lebih renggang ditujukan untuk industri kayu pertukangan. Tetapi dapat juga terjadi banyak jenis pohon sudah menunjukkan pertumbuhan yang kurang baik kalau sejak awal ditanam dengan jarak tanam lebar (misalnya: 3 x 3 m atau lebih), yaitu dengan tumbuhnya cabang-cabang besar, pohon mengganda dsb. Oleh karena itu penanaman pertama harus dilakukan dengan jarak rapat (2 x 2 m atau kurang), kemudian setelah umur tertentu diadakan penjarangan, karena pada jarak yang rapat, kondisi iklim mikro dan kondisi pohonnya yang kurang sehat lebih disukai patogen. Contoh: intensitas serangan Corticium salmonicolor pada Acacia mangium di PT ITCI di Kenangan yang berjarak tanam 2 x 2 m > 3 x 3 m > 4 x 4 m (Mardji, 1994).

e.        Tanaman campuran. Hutan tanaman biasanya terdiri dari satu jenis (monokultur) yang rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu disarankan untuk mencampur jenis tanaman. Tetapi hal ini terdapat beberapa masalah, antara lain:
e.1. Kecepatan tumbuh berbeda-beda pada masing-masing jenis, sehingga bila ada jenis yang lebih lambat pertumbuhannya, maka jenis ini akan tertekan dan merana atau mati.
e.2. Dengan adanya perbedaan kecepatan tumbuh, maka pemeliharaannya seperti penjarangan atau pemangkasan tidak dapat dilakukan secara bersamaan.
e.3. Pemungutan hasil kayunya juga sulit dilakukan kalau memakai sistem tebang pilih.
e.4. Masing-masing  jenis  yang  ditanam  harus  sudah  benar-benar  diketahui penyakitnya, sehingga penanaman di lapangan dipilih jenis-jenis yang berbeda penyakitnya. Hal ini sulit dilaksanakan mengingat banyak penyakit yang mempunyai banyak inang (kosmopolit).


4.2.3. Dengan cara pemilihan dan perlakuan tempat tumbuh
a. Perbaikan tempat tumbuh
a.1. Pemupukan. Kandungan nutrisi di dalam tanaman berperan penting dalam ketahanan terhadap penyakit. Pemupukan tanaman dengan P dan K dapat meningkatkan resistensi terhadap faktor abiotik, jamur patogen, serangga pengisap dan kutu-kutu pada beberapa jenis tanaman tertentu, tetapi pemupukan dengan N pada beberapa jenis tanaman lainnya justru mengurangi resistensi. Oleh karena itu, penggunaan N sebaiknya lebih kecil konsentrasinya dibandingkan dengan P dan K. Pada dasarnya pemupukan bertujuan untuk menambah kesuburan tanah, sehingga tanaman menjadi sehat dan kuat yang diharapkan dapat bertahan dari serangan organisme perusak.
a.2. Pengolahan tanah. Dapat dilakukan dengan membajak tanah-tanah yang padat, bekas traktor atau bekas jalan (jalan sarad, jalan angkut kayu dsb.). Tanah-tanah demikian biasanya humusnya hilang. Oleh karena itu, setelah dibajak perlu diberi humus, dipupuk dan disiram. Lahan-lahan yang sering tergenang air pada waktu hujan perlu dibuatkan saluran air. Pembukaan hutan mengakibatkan infiltrasi air ke dalam tanah berkurang, sehingga lebih banyak mengalir di permukaan (surface run off) dan dapat mengakibatkan kebanjiran, erosi dan tergenangnya air di tempat-tempat yang rendah.

b. Pemilihan tempat tumbuh yang baik. Hal ini berkaitan dengan keadaan tanah, iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut dan kelerengan. Sebelum suatu lahan ditanami, perlu diketahui data mengenai kandungan nutrisi, mineral, air, zat kapur, pH dan informasi lainnya yang berguna. Dengan adanya informasi tentang keadaan lahan tersebut, maka pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam dapat disesuaikan, sehingga bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Contoh: percobaan tanaman jati (Tectona grandis) di PT ITCI gagal, karena tanahnya mempunyai kandungan zat kapur yang rendah.

c. Kebersihan tempat tumbuh. Metode tebang habis dengan pembakaran adalah cara lama yang sekarang sudah tidak dilakukan lagi pada program HTI, karena asapnya mencemari udara, musnahnya flora dan fauna langka, erosi tanah dsb. Sebenamya cara lama tersebut efektif untuk menghilangkan segala bentuk organisme pengganggu. Tetapi kalau sisa-sisa kayu yang tidak habis terbakar masih menumpuk di permukaan tanah, maka akan mengundang rayap, serangga, kumbang dan jamur untuk dimanfaatkan sebagai inang sementara. Setelah lahan ditanami tanaman pokok yang mungkin saja sesuai untuk makanannya, maka tanaman ini akan terancam serangan. Kayu-kayu besar yang masih basah juga merupakan pelindung organisme perusak pada waktu diadakan pembakaran. Oleh karena itu lahan tanam harus bersih dari tonggak-tonggak dan sisa-sisa kayu. Di lahan yang tidak dibakar, ancaman organisme perusak sulit dihindari, karena di hutan merupakan gudang patogen. Untuk ini maka perlu dilakukan metode pencegahan dengan cara lain.

4.2.4. Dengan cara perlindungan terhadap predator
Cara ini ialah melindungi predator seperti burung, kelelawar, semut, laba-laba dsb. Perlindungan terhadap predator hendaknya dilakukan dengan penuh kesadaran, artinya bahwa manusia memerlukan para predator ini, sehingga keberadaannya perlu dilindungi dan dilestarikan. Di antara predator yang paling banyak mendapat ancaman (terutama oleh manusia) ialah burung. Perlindungan terhadap burung hendaknya jangan terbatas pada jenis-jenis yang langka dan dilindungi oleh undang-undang saja. Banyak jenis-jenis burung yang sebenamya berguna sebagai predator serangga hama tidak dimasukkan di dalam daftar yang dilindungi. Hendaknya penjualan senapan angin dan bentuk-bentuk senapan berburu lainnya di pasaran tidak secara bebas, melainkan pemilikannya dibatasi kepada pihak-pihak yang berwenang saja, terutama ditujukan untuk mengendalikan jumlah populasi satwa predator burung pemakan serangga hama, sehingga menjadi seminimal mungkin tetapi tidak sampai punah. Contoh: elang, alap-alap, musang, kucing hutan, ular pohon dsb.

4.2.5. Dengan cara fisik mekanik
a. Pemagaran. Cara ini ditujukan terhadap binatang liar seperti rusa, babi, sapi hutan, banteng dsb. Pagar terbuat dari kawat berduri yang direntangkan dengan kayu ulin adalah yang paling baik, tetapi biayanya mahal untuk hutan yang relatif luas, kecuali untuk persemaian. Selain itu, kerusakan di hutan yang ditimbulkan oleh binatang besar relatif kecil, karena banyak makanan alternatif selain tanaman pokok, seperti jenis-jenis tumbuhan semak, rumput-rumputan dsb.
Yang paling penting untuk dipagar ialah kebun benih dan tanaman-tanaman percobaan yang biasanya relatif tidak luas. Babi biasanya membongkar tanah untuk mencari makanannya, yang juga dapat membongkar akar tanaman muda. Binatang mamalia lainnya memakan daun dan pucuk-pucuk muda, menggosok-gosokkan kepalanya di pohon, sehingga kulit pohon terkelupas. Pemagaran dapat juga dilakukan terhadap setiap pohon yang biasanya hanya dilakukan terhadap pohon-pohon di taman atau di pinggir jalan.

b. Penutupan bedeng semai. Untuk mencegah kerusakan bibit tanaman dari curah hujan dan sinar matahari yang terlalu kuat di persemaian, maka dapat dipakai sarlon. Untuk menghindari bibit dari gangguan unggas dapat dipakai jaring (net) yang ditutupkan atau dipagarkan mengelilingi bedeng bibit.

c. Pemanasan media. Cara ini dipakai pada media tabur dan sapihan, yaitu dengan cara menggongseng media selama minimal 2 jam atau menjemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari agar supaya organisme perusak yang ada di dalamnya mati.

d. Penutupan luka. Untuk mencegah masuknya patogen di tempat luka bekas pangkasan, maka luka tersebut diolesi cat atau tar. Pemotongan hendaknya dilakukan di pangkal  cabang untuk menghindari pembusukan sisa pangkasan, kecuali pada pohon-pohon yang bisa bertunas lagi pada tempat pangkasan itu. Sisa cabang yang mati atau busuk itu bisa menjadi tempat masuknya patogen ke dalam kayu.

e. Pengejutan. Cara ini berupa suara (alarm) dan cahaya (lampu) yang dapat menakutkan satwa liar, terutama untuk menjaga kebun benih, persemaian atau areal percobaan. Suara dan cahaya dapat diperoleh dari alat yang dioperasikan dengan baterai atau listrik seperti pendeteksi gerak (motion detector).

4.2.6. Dengan cara kimia
Penggunaan bahan kimia yang berupa pestisida dapat bertujuan untuk melindungi atau mencegah serangan patogen dengan cara menggunakannya pada benih, semai, bahan vegetatif dan pohon yang masih sehat. Perlindungan dari bahan kimia kepada bahan-bahan tanaman terhadap patogen hanya bersifat sementara, karena efektivitasnya akan berkurang karena faktor cuaca.


4.3. Metode Pemberantasan Penyakit Hutan

Pemberantasan berarti perlakuan secara langsung terhadap patogen yang sedang menyerang tanaman dengan maksud agar serangannya terhenti. Sebelum pemberantasan dilakukan, perlu diketahui terlebih dahulu diagnosis dan prognosisnya, kemudian diambil keputusan apakah perlu diberantas atau tidak.

Diagnosis ialah pengenalan (identifikasi) suatu penyakit yang berdasarkan atas gejala (symptom) yang ditunjukkan oleh tanaman, misalnya: layu daun, perubahan warna kulit batang atau kayu, matinya jaringan pada suatu bagian tertentu dari tanaman, perubahan bentuk batang atau tajuk, luka, keluarnya getah dsb. Diusahakan pula untuk menemukan tandanya (sign), seperti tubuh buah jamur (fruit body), miselium, spora atau serangga hama. Dari sini dapat diteruskan kepada pengenalan jenis dengan membandingkan dengan literatur atau koleksi di laboratorium. Dengan mengetahui jenis penyebabnya, maka metode pemberantasan dapat dilakukan dengan tepat. Misalnya bila diketahui penyakitnya adalah karat daun yang disebabkan oleh sejenis jamur, maka pemberantasannya tidak hanya ditujukan kepada daun yang sakit yang terlihat pada saat itu saja, melainkan juga pada pohon-pohon atau semak-semak yang menjadi inang sementara (alternate host) yang ada di sekitarnya.

Prognosis ialah prakiraan kapan timbulnya, sifat patogen, tingkat serangan dan bagaimana cara mengatasinya. Timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh iklim, umur pohon, jenis pohon dsb. Misalnya: Corticium salmonicolor aktif di musim hujan pada semua jenis pohon yang menjadi inangnya yang berumur 2 tahun ke atas, maka pemberantasan yang tepat dilakukan pada musim kemarau, yang mana pada waktu itu jamur dalam keadaan istirahat (dorman) dengan stadium vegetatifnya.

Keputusan untuk memberantas suatu penyakit ditentukan oleh tingkat serangan dan sifat penyakit itu sendiri. Walaupun tingkat serangannya rendah dan kelihatan tidak membahayakan, tetapi kalau penyebabnya dapat menular melalui spora yang disebarkan oleh angin, maka pemberantasan perlu segera dilakukan. Tetapi perlu dipertimbangkan pula mengenai biaya yang akan dikeluarkan, apakah masih efisien atau tidak. Efisien kalau metode pemberantasan yang dilakukan dapat menekan serangan patogen secara efektif.

4.3.1. Dengan cara fisik mekanik
a. Penangkapan dan pembunuhan. Penangkapan ditujukan terhadap serangga atau binatang liar yang sedang merusak hutan. Penangkapan dapat dilakukan dengan menggunakan alat seperti jaring, jerat atau jebakan. Untuk menjebak kumbang penggerek Pissodes spp. digunakan pohon-pohon yang sakit atau patah atau yang telah rebah, karena serangga ini meletakkan telumya pada pohon tersebut dengan terlebih dahulu menggerek kulitnya (Schwerdtfeger, 1981). Untuk menjebak serangga yang keluar pada malam hari dapat digunakan lampu, sedang untuk binatang liar digunakan jerat. Serangga yang tertangkap dapat langsung dibunuh. Metode pembunuhan dapat juga dilakukan dengan cara penyinaran dengan sinar ultra violet atau membakar pohon yang terserang tanpa menangkap serangganya terlebih dahulu.

b. Pencabutan dan penebangan. Cara ini ditujukan terhadap bibit tanaman yang sakit di persemaian atau terhadap gulma di persemaian maupun di pertanaman, terutama gulma yang berakar dalam atau yang berimpang seperti ilalang. Kalau bibit yang sakit disebabkan oleh patogen lodoh (damping off) dan berada di dalam pot, maka harus diambil bersama dengan potnya, kemudian tanahnya disterilkan kembali dan bibitnya dibakar. Pohon-pohon yang tidak bernilai komersil dan pohon-pohon pokok yang terserang hama ditebang kemudian dibakar. Terhadap rayap dan jamur penyerang akar, pembakaran dilakukan pada pangkal pohon dan sekitarnya. Jenis-jenis pohon perdu atau semak-semak dapat juga menjadi inang sementara bagi jenis-jenis jamur karat seperti Cronartium ribicola (penyebab karat pada batang Pinus spp.) mempunyai inang sementara pada perdu jenis Ribes.

4.3.2. Dengan cara kimia
Bahan kimia pestisida yang dipakai untuk membasmi patogen dapat terdiri dari bahan aktif, pelekat dan perata. Bahan aktif adalah bahan yang berpengaruh negatif langsung terhadap patogen. Bahan pelekat adalah bahan yang membuat bahan aktif melekat kalau jatuh pada suatu media/benda, sehingga tahan terhadap air, angin, suhu, kelembapan dan sinar. Biasanya bahan pelekat yang dipakai adalah gelatin, dextrine, getah-getahan dsb. Bahan perata adalah bahan yang dapat melarutkan bahan aktif dan bahan pelekat dengan merata bila dicampur dengan air, sehingga tidak terjadi pengendapan. Selain itu, bahan perata juga bermanfaat untuk membuat pestisida yang disemprotkan ke suatu media tidak terjadi titik-titik yang terpisah, melainkan tersebar merata sehingga tidak ada bagian-bagian yang tidak terkena pestisida.

Cara kerja bahan kimia (bahan aktif) ialah dapat berupa:
a.    Pembasmi, pembunuh, yaitu bahan tersebut bekerja bila termakan atau terisap ke dalam tubuh. Bahan kimia dapat bekerja aktif kalau masuk ke dalam tubuh lewat mulut (peroral), lewat kulit (perkutan) atau lewat hidung. Ada pestisida yang bersifat kontak, yaitu akan berpengaruh kalau mengenai patogen secara langsung. Pestisida yang bersifat sistemik, yaitu pestisida yang dapat terserap ke seluruh tubuh tanaman lewat daun, batang atau akar, sehingga patogen yang memakan atau menginfeksi tanaman di bagian yang tidak terjangkau oleh alat semprot akan mati. Contoh: herbisida, insektisida, fungisida, nematisida dsb.

b.    Penolak, pencegah, pengejut (repellent), adalah pestisida yang berpengaruh di syaraf perasa seperti hidung dan lidah. Dipakai terhadap binatang besar yang bila tercium atau termakan akan membuat mereka mengurungkan niatnya untuk memakan. Biasanya terbuat dari bahan yang terdiri dari tar, minyak, lemak, lilin dll. Secara tradisional dapat dibuat campuran sbb: kapur, kotoran sapi atau binatang sejenisnya, darah binatang dan pernis. Atau: kapur 40 kg, minyak tanah 6 ltr, adhesit 600 gr dan air 100 ltr. Bahan penolak hanya bersifat menolak atau mengejutkan binatang tetapi tidak membunuh.

c.    Pemikat, penarik, pemancing (attractant), adalah bahan kimia yang karena aromanya dapat menarik serangga hama untuk datang dan memudahkan untuk membunuhnya. Contoh: penggerek batang Xyloterus leneatus dan X. domesticus dapat dipancing dengan bau alkohol hasil fermentasi dari timbunan kayu atau dari getah pada daun jarum yang mengandung a-pine. Selain itu ada bahan pemikat yang mempunyai aroma lawan jenis yang disebut pheromone, misalnya: typolur, disparlur dan multilur.

d.   Penghambat, ialah bahan kimia yang dapat menghambat perkembangbiakan patogen tanpa langsung membunuhnya, melainkan berangsur-angsur populasinya menurun atau punah karena tidak terjadi kelahiran baru atau kerena kegiatannya untuk menyerang terhenti. Contoh: antibiotik yang biasa dipakai untuk manusia dapat menghambat pertumbuhan bakteri Pseudomonas dan Erwinia, jamur Pythium ultimum, Botrytis cinerea, Ceratocystis ulmi, Cronartium ribicola dan Armillaria mellea. Ekstrak biji Azadirachta indica mengandung azadirachtin yang dapat digunakan untuk menurunkan aktivitas makan ulat Lymantria dispar sehingga mengakibatkan kematiannya karena kelaparan. Bahan derivat urine diflubenzuron dengan nama perdagangannya dimilin telah terbukti dapat menghambat pembentukan chitin, sehingga pembentukan kulit tidak sempuma pada larva Lepidoptera pemakan daun, larva Arthropoda dan nematoda sehingga menyebabkan kematian. Pada serangga dewasa, dimilin yang masuk ke dalam tubuhnya dapat mengganggu sistem perkembangbiakan dan mengakibatkan kemandulan, kemunduran produksi telur dan pengurangan penetasan telur, karena telur Arthropoda yang kena dimilin dapat mati.

Dimilin tidak berbahaya terhadap tanaman, lebah, binatang besar dan manusia. Khusus untuk bahan yang disebut chemosterilant, adalah bahan kimia yang kalau tersentuh atau termakan oleh serangga akan menghambat perkembangbiakannya. Telur kumbang penggerek Ips typographus yang diletakkannya di pohon yang disemprot chemosterilant 26% tidak ada yang menetas, sedangkan yang tidak diperlakukan (kontrol), 95% telurnya menetas.

4.3.2.1. Efektivitas pestisida
Efektivitas pestisida tergantung dari konsentrasi, waktu, lingkungan dan kepekaan organisme.
a. Konsentrasi. Pemberian konsentrasi yang tinggi akan lebih efektif daripada yang rendah. Ukuran batas konsentrasi yang dianjurkan biasanya tertulis pada label (bungkus) masing-masing pestisida.

b. Waktu. Masing-masing pestisida mempunyai waktu kerja (reaksi) yang berbeda-beda, ada yang beberapa detik, menit dan bahkan minggu pada konsentrasi/dosis yang efektif. Waktu di sini juga termasuk waktu yang diperlukan agar supaya pestisida mencapai dosis yang efektif. Pada serangga yang makannya lambat, maka pestisida yang masuk ke dalam tubuhnya akan mencapai dosis yang efektif secara lambat dibandingkan dengan serangga yang makannya rakus, sehingga waktu yang diperlukan sampai pestisida bekerja (bereaksi) pada serangga yang makannya lambat lebih lama dibandingkan dengan yang rakus.

c. Lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap efektivitas pestisida ialah keadaan tanah dan udara (suhu, kelembapan, angin, hujan dan embun). Di dalam tanah, efektivitas Lindan semakin berkurang sesuai dengan pertambahan kedalaman tanah. Parathion berkurang efektivitasnya sesuai dengan pertambahan kandungan air dan bahan organik tanah. Pemberantasan patogen lodoh di tanah berhumus lebih cepat berhasil daripada di tanah pasir tanpa humus. Efektivitas fungisida juga dipengaruhi oleh mikroflora, di tanah yang tidak steril lebih efektif daripada di tanah yang steril, karena di tanah berhumus dan tidak steril lebih banyak mikroorganisme lain yang dapat mengeluarkan antibiotik sehingga membantu mempercepat matinya patogen lodoh. Pada suhu udara tinggi, efektivitas pestisida lebih tinggi, tetapi umur efektivitasnya lebih pendek dibandingkan dengan pada suhu rendah. Air hujan atau embun dapat menyebabkan pestisida yang melekat pada tanaman larut, sehingga konsentrasinya berkurang dan mengakibatkan efektivitasnya menurun.

d. Kepekaan organisme. Kepekaan suatu organisme terhadap pestisida berbeda-beda menurut jenis (species), jenis kelamin, stadium dan umur. Contoh: Microsphaera alphitoides (powdery mildew) rentan terhadap sulfur, tetapi Lophodermium pinastri (patogen karat) lebih resisten. Kumbang yang tak bermoncong rentan terhadap Trichlorfon, sedangkan kumbang bermoncong lebih resisten. Kumbang jantan lebih rentan terhadap karbohidrat yang mengandung chlor dan derivat phosphor organik daripada yang betina. Stadium vegetatif yang berbentuk hifa atau miselium pada jamur lebih rentan dibandingkan dengan stadium generatif yang berbentuk tubuh buah yang menghasilkan spora. Serangga dalam stadium imago atau telur lebih rentan daripada dalam stadium larva. Pada stadium yang sama, larva yang masih sangat muda dan bertubuh kecil lebih rentan daripada larva yang telah tua yang bertubuh lebih besar.

4.3.2.2. Metode penggunaan pestisida
Pestisida yang telah dilarutkan di dalam air dapat digunakan dengan metode sebagai berikut:
a.     Penyemprotan. Metode ini dilakukan dengan menggunakan alat semprot yang bertekanan udara tinggi, karena lubang-lubang penyemprot sangat kecil dengan diameter antara 150~500 mm (1 mm = 1/1000 mm). Lubang yang lebih halus berdiameter 50~150 mm. Banyaknya larutan yang diperlukan antara 200~600 l/ha. Metode ini dipakai untuk memberantas gulma, menyemprot vegetasi penutup tanah dalam memberantas tikus dan memberantas patogen pada bedeng persemaian atau pada tanaman muda yang belum begitu tinggi. Penggunaan pestisida dapat secara langsung disemprotkan ke organisme perusak bila organisme tersebut kelihatan (tidak tersembunyi atau terlindung). Kalau organismenya terlindung (untuk hama), maka pestisida kontak dapat disemprotkan di sekeliling tempat persembunyiannya dengan harapan kalau hamanya keluar akan menyentuh pestisida dan akan mati. Tetapi untuk patogen yang tetap berada di dalam tubuh pohon atau jauh di atas dan tidak terjangkau oleh alat semprot, maka sebaiknya dipakai pestisida sistemik dengan cara menyiramkan ke pangkal pohon agar terserap oleh akar dan tersebar ke seluruh bagian pohon atau dengan cara menyuntikkan pestisida ke dalam pohon.

b.     Penguapan. Untuk memberantas patogen di dalam tanah dapat digunakan fumigan yang dikemas dalam bentuk cairan yang mudah menguap. Cara ini dikenal dengan fumigasi. Caranya ialah dengan menempatkan fumigan di dalam kaleng atau botol terbuka di tengah-tengah bedeng tanah, kemudian bedeng itu ditutup rapat dengan plastik selama 24 jam atau lebih tergantung dari banyak/tebal tanahnya. Uap fumigan akan tersebar merata ke seluruh bagian tanah dan membunuh patogen yang ada di dalamnya. Tanah dapat dipakai setelah bau fumigan hilang.

c.     Penyiraman. Dilakukan terhadap patogen yang berada di tanah dengan memakai alat penyiram yang dapat membasahi dengan merata. Banyaknya larutan berkisar antara 1~5 l/m2. Penyiraman dilakukan hanya pada areal yang sempit karena pertimbangan biaya.

d.    Pengabutan. Ialah metode dengan menggunakan alat yang bertekanan udara tinggi dengan lubang-lubang penyemprot berdiameter antara 10-20 mm, sehingga yang keluar berupa kabut. Dengan diameter lubang yang kecil itu, maka pestisida dapat disemprotkan dengan merata ke permukaan tanaman dan dapat lebih menghemat biaya. Kelemahannya ialah bila angin agak kuat, maka metode pengabutan kurang efektif, karena butir-butir larutan pestisida yang sangat kecil mudah terbawa angin.

e.     Perendaman. Ialah metode yang dilakukan dengan cara mencelupkan atau merendamkan bagian tanaman yang sehat atau yang sakit ke dalam larutan pestisida. Metode ini cocok untuk biji, semai atau sapihan sebelum ditanam di lapangan, baik untuk pencegahan maupun pemberantasan patogen. Di industri kayu, metode ini dipakai untuk mencegah kayu dari serangan jamur sebelum disimpan.

f.      Pelaburan. Ialah metode pencegahan atau pemberantasan patogen dengan cara mengoleskan pestisida ke bagian tanaman yang sakit atau yang dianggap sensitif terhadap gangguan. Caranya ialah dengan menggunakan kuas. Metode ini cocok dipakai pada tanaman yang jumlahnya relatif sedikit, karena metode ini memakan waktu banyak.

g.     Penaburan. Ialah metode pencegahan atau pemberantasan patogen dengan cara menaburkan pestisida yang berbentuk butiran (granular) ke tanah di sekitar tanaman yang terserang. Pestisida akan larut bila terkena air dan akan membunuh patogen.

h.     Penghembusan. Metode ini dipakai dengan menggunakan alat yang dapat menghembuskan bubuk pestisida (berupa tepung) pada suatu tegakan. Biasanya metode ini dipakai pada tegakan yang terserang berat. Metode ini juga telah dipakai di negara-negara maju dengan menggunakan pesawat terbang.


Beberapa kasus sering terdengar, bahwa suatu jenis hama resisten terhadap insektisida, padahal sebelumnya rentan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
a.        Di antara individu ada yang memang memiliki sifat resisten yang dapat diturunkan ke generasi selanjutnya.
b.       Hamanya tidak resisten, tetapi pada waktu diadakan penyemprotan terhindar dari pestisida atau menjauh dan kemudian pada waktu tertentu datang lagi dan berkembang biak seperti biasa setelah mendapatkan makanan berlimpah, sementara itu dengan adanya suhu udara yang tinggi, efektivitas pestisida relatif cepat menurun.
c.        Dosis/konsentrasi yang diberikan kurang sesuai, sehingga tidak mampu membunuh hama atau ada individu-individu yang hanya kena sedikit dan masih hidup. Hama yang demikian dapat menjadi resisten karena adanya perubahan sifat genetiknya dan menurunkan generasi yang resisten pula.
d.       Dosis/konsentrasi yang diberikan sama dengan waktu-waktu yang lalu (berulang-ulang), sementara hama secara alami selalu memuliakan diri dengan diturunkannya keturunan-keturunan yang lebih resisten, sehingga hama menjadi kebal.

Pengaruh penggunaan pestisida dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh makhluk hidup, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Pengaruhnya yaitu terhadap: perusak tanaman (patogen), ikan, tanaman, burung, fisik dan biologis tanah, satwa mammalia, serangga yang berguna dan manusia.

4.3.3. Dengan cara biologis
Pemberantasan secara biologis ialah pemberantasan yang dilakukan dengan menggunakan organisme hidup yang bersifat antagonis (membinasakan lawan). Kebaikan dari metode ini ialah tidak ada efek negatif terhadap lingkungan, sedangkan kelemahannya adalah sebagai berikut:
a.        Resistensi organisme yang akan diberantas kadang-kadang lebih tinggi daripada organisme antagonis.
b.        Cuaca mempengaruhi kehidupan organisme antagonis, sehingga efektivitasnya tergantung dari keadaan cuaca.
c.        Pengembangbiakannya memerlukan biaya yang lebih tinggi daripada membuat pestisida.
d.       Kesulitan dalam pemeliharaan atau penyimpanan.

4.3.3.1. Mikroorganisme
a.      Virus
Virus yang dapat menyebabkan sakit pada serangga terdiri dari 4 tipe yang berbeda dalam bentuk kapsul, virion dan bahan genetiknya. Berikut ini diberikan gambaran bentuk virus patogen serangga dan pada Tabel 1 disajikan perbedaannya.

Tabel 1. Perbedaan virus patogen serangga (Franz and Krieg, 1982)

Tipe
Bentuk/morfologi virion
Bahan inti
Jumlah virion per kapsul
Virus granulat
Tongkat
DNA
1 (maks. 2)
Virus entomopox
Persegi empat
DNA
>100
Virus polyhedron inti
Tongkat
DNA
<100
Virus polyhedron sitoplasma
Bulat
RNA
>100
Bentuk virus patogen serangga

Kebaikan penggunaan virus ialah dapat digunakan secara selektif terhadap hama tertentu.
Kelemahannya ialah:
a.    Virus hanya dapat dikembangbiakan di dalam organisme hidup karena bersifat parasit obligat.
b.    Waktu inkubasi (waktu dari sejak infeksi sampai timbulnya gejala sakit) relatif lama, minimal 6~10 hari, yang mana dalam waktu tersebut serangga hama sudah mampu membuat kerusakan banyak.

Cara kerja virus di dalam perut inangnya dapat dilihat pada Gambar.


Sketsa perkembangan virus polyhedron inti di dalam sel perut inangnya. Setelah masuk ke dalam perut lewat mulut, kapsul pecah dan virionnya terurai di dalam cairan perut, setiap virion mendapat kesempatan untuk menginfeksi sel epitel perut dan masuk ke dalam inti sel. Kemudian dari satu virion membentuk banyak virion baru dan membentuk kapsul. Dengan perbanyakan virus ini maka inti sel rusak dan serangganya mati

The image “http://www.ipmimages.org/images/768x512/1398240.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
figure 13
Kapsul virus polyhedron inti (NPV) memecah diri dan keluarlah virion
Virus granulat dari larva Hyphantria cunea.
v = virion, g = kapsul
Malacosoma disstria yang terserang virus (bentuk V) pada
Populus tremuloides
Larva yang terserang NPV

Contoh virus polyhedron inti dan granulat serta larva yang mati terserang virus

b. Bakteri. Bakteri yang terkenal sangat efektif untuk memberantas serangga hama ialah Bacillus thuringiensis. Pertama kali diisolasi oleh Berliner di Jerman pada tahun 1911 dari larva lalat Ephestia kuhniella. Sangat efektif terhadap sekitar 250 jenis larva serangga dari ordo Lepidoptera, sedangkan terhadap lebih dari 75 jenis dari larva serangga perusak lainnya terbukti dengan keberhasilan cukup sampai baik.

Penggunaannya adalah dalam bentuk stadium vegetatif dan generatif (spora + kristal) yang dilarutkan di dalam air, kemudian disemprotkan ke tanaman dengan alat semprot biasa, di darat atau dengan pesawat terbang.

Siklus hidup bakteri Bacillus thuringiensis, sel vegetatif dan spora serta racunnya dapat dilihat pada Gambar.

           
Siklus hidup bakteri Bacillus thuringiensis

The image “http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Bt1.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.

The image “http://milksci.unizar.es/bioquimica/temas/enzimas/auxtransgenic/toxcrystals.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
The image “http://biogen.litbang.deptan.go.id/produk/images/bacillus_mekanisme.png” cannot be displayed, because it contains errors.
Atas kiri: sel vegetatif Bacillus thuringiensis yang berisi spora (terang) dan kristal (gelap). Atas tengah: spora B. thuringiensis yang berflagella. Atas kanan: sporangium (z) yang pecah dan mengeluarkan spora (s) serta kristal racun (k). Bawah kiri: kristal racun B. thuringiensis. Bawah tengah: Melolontha sp. yang terinfeksi B. popilliae dengan bagian ekornya memutih (kiri) dan yang sehat (kanan). Bawah kanan: diagram mekanisme patogenitas B. thuringiensis

Agar supaya berhasil, bakteri harus masuk ke dalam tubuh serangga. Caranya seperti pada pemberantasan dengan menggunakan virus, yaitu menyemprotkan larutan bakteri di dalam air kepada makanan serangga. Setelah tertelan, bakteri itu membentuk racun kristal endotoxin pada stadium generatif yang merusak dinding usus dan melumpuhkan otot-otot usus. Dengan demikian, serangga dapat mati dalam waktu singkat atau beberapa hari. Demikian pula pada stadium vegetatif, bakteri membentuk kristal exotoxin yang berakibat sama dengan kristal endotoxin. Racun-racun ini dapat diawetkan dalam bentuk bubuk (tepung) kering dan tahan sampai 10 tahun.

Pemberantasan serangga hama dapat juga dilakukan dengan menggunakan tepung racun itu dengan cara melarutkannya di dalam air seperti insektisida dan berfungsi seperti racun perut dan racun kontak.

Kebaikan pemakaian bakteri sama seperti virus, yaitu:
a. Spesifik terhadap serangga tertentu
b. Mudah didapat dan dikembangbiakan di media buatan

Kelemahannya ialah:
a.   Pengembangbiakannya memerlukan alat dan teknik tertentu di laboratorium, sehingga biaya awal relatif mahal
b.  Penggunaannya di lapangan tergantung cuaca
c.   Efektivitasnya tergantung dari kepekaan serangga

B. thuringiensis dapat diperoleh di pasaran dengan nama Thuricide HP dan Dipel (buatan USA), Bactospeine (buatan Perancis), Entobakterin dan Dendrobazillin (buatan Rusia). Bakteri ini dapat diisolasi dari tubuh serangga yang telah mati, dari dalam tanah dan air.

c. Protozoa (mikrosporidia). Protozoa ialah binatang bersel tunggal, di antara jenisnya ada yang menjadi penyebab penyakit pada serangga. Protozoa merupakan parasit intraselluler yang dapat memproduksi spora berbentuk telur atau memanjang atau seperti buah alpukat. Binatang ini masuk ke dalam tubuh serangga lewat makanan dan berkembangbiak di dalam sel dengan membelah diri dari stadium vegetatifnya. Di luar tubuh serangga, penyebarannya terjadi dengan spora.

Kebaikan penggunaan protozoa ialah:
a. Tidak tergantung dari iklim dan kepekaan inang
b. Virulensinya tidak bisa berkurang
c. Dalam konsentrasi yang rendah lebih efektif daripada bakteri

Kelemahannya ialah: tidak dapat dipelihara di media buatan, oleh karena itu pengembangbiakan dan penggunaannya sulit dilakukan (tidak praktis).

The image “http://www.animalpicturesarchive.com/animal/PIX/Amoeba.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Amoeba

The image “http://content2.eol.org/content/2008/12/10/20/29856_large.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Flagellata
Sporozoa

The image “http://www.animalpicturesarchive.com/animal/a7/Protozoan-Pinnularia-by_Ralf_Schmode.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Ciliata

Contoh beberapa jenis protozoa

d. Jamur. Peniophora gigantea merupakan salah satu jenis jamur yang bersifat antagonis terhadap Fomes (Heterobasidion) annosus (patogen busuk merah pada akar). Percobaan dengan cara menginokulasi pohon Pinus dengan spora P. gigantea di dalam air dapat memberantas F. annosus. Trichoderma viride juga bersifat antagonis, tetapi tidak seefektif P. gigantea.

Jamur patogen serangga diketahui terdiri atas beberapa jenis dari kelas Fungi Imperfecti (Deuteromycetes) seperti: Paecilomyces farinosus, Verticillium sp., Beauveria bassiana dan Metarrhizium anisopliae (Gambar).
Bila konidia (ektospora) jatuh pada kulit serangga, maka konidia tersebut berkecambah dan menginfeksi tubuhnya. Hifa tumbuh menjadi banyak, mengeluarkan racun dan sel-sel tubuh serangga menjadi rusak yang akhirnya mati. B. bassiana, B. tanella dan M. anisopliae dikenal mempunyai banyak inang dari jenis serangga yang termasuk ordo Homoptera, Heteroptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Lepidoptera.

3 - Paecilomyces.jpg (16017 bytes)
wpe477.jpg (57525 bytes)
Paecilomyces farinosus (kiri)  dan Beauveria bassiana (kanan)

The image “http://www.freewebs.com/controlmayateprieto/beauveria%20bassiana.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
metarrhizium anisopliae


Belalang yang mati akibat terserang oleh Beauveria bassiana (kiri),  Metarrhizium anisopliae (tengah) dan larva yang mati akibat M. anisopliae (kanan)


The image “http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4d/Trichoderma_harzianum.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.

Trichoderma harzianum
Tilachlidiopsis nigra



The image “http://www.ipmimages.org/images/768x512/1398241.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Malacosoma disstria (paling tengah) yang terserang jamur pada Populus tremuloides Michx.
Cordiceps sobolifera
Isaria sinclairii
C. facis

 
C. gracilioides
Jamur patogen serangga. Tangkai konidia (konidiofor) dan konidia beberapa jenis jamur dari kelas Fungi Imperfecti dan beberapa jenis jamur makro yang menginfeksi serangga 

Jamur Arthrobotrys oligospora yang sedang menjerat nematoda

Dari kelas Phycomycetes dikenal Entomophthora museae yang dapat membunuh jenis-jenis serangga dari famili Aphididae, Elateridae, Tipulidae, Noctuidae dan Tenthredinidae. Entomophthora thaxieriana (Conidiobolus obscurus) dapat membunuh serangga dari ordo Aphididae dan kutu-kutu dari tanaman biji-bijian.

Untuk memberantas nematoda dipakai jamur dari kelas Deuteromycetes seperti Verticilium spaerosporum dan Paecilomyces coccospora (keduanya endoparasit). Sebagai ektoparasit dipakai jamur dari genus Arthrobotrys (Gambar), Dactylaria dan Monocrosporium yang dapat menjerat nematoda dengan hifanya.
Jamur yang ditemukan dapat membunuh telur bekicot Deroceras reticulatum ialah Verticilium chlamidosporium dan Arthrobotrys sp.

e. Nematoda. Beberapa jenis nematoda dikenal sebagai parasit fakultatif atau obligat yang dapat membunuh inangnya. Percobaan lapangan untuk memberantas serangga dikenal 3 jenis nematoda, yaitu:
e.1.      Neoaplectana carpocapsae (Steinernematidae) yang dikenal dengan DD-136. Dalam tahun 1950an banyak dipakai untuk memberantas serangga hama. Nematoda ini dapat dikembangkan dengan mudah di dalam tubuh serangga atau larva seperti Galleria mellonella atau di media buatan. Nematoda ini tahan di dalam air, sehingga dalam pemakaiannya bisa dimasukkan di dalam air dan disemprotkan kepada tanaman yang terserang serangga hama. Nematoda memerlukan tempat yang basah untuk hidupnya, oleh karena itu pemakaiannya akan lebih berhasil kalau digunakan pada tanah. Konsentrasinya disarankan antara 104~106 per meter persegi.
e.2.      Deladeum siridicola (Neotylenchidae) parasit pada Sirex noctilio (serangga hama pada Pinus spp.) dan membuat serangga betina steril. Nematoda ini pada waktu belum mendapatkan inangnya memakan suatu jenis jamur yang tumbuh pada batang pohon. Oleh karena itu nematoda ini dapat diperbanyak dengan pemberian jamur tersebut sebelum diinjeksikan pada pohon yang terserang Sirex.
e.3.      Romanomermis culicivorax (Mermithidae) parasit pada larva nyamuk (Culicidae) seperti Anopheles albimanus yang memungkinkan untuk dicoba pada serangga lainnya.


sciarid larvae infected with nematodes
Seekor larva terinfeksi nematoda Steinernematidae, sebagian ada di dalam tubuhnya
Rayap yang terserang nematoda S. carpocapsae

Healthy and infected larvae
Larva Melolontha terserang Heterorabditis bacteriophora
Larva yang mati akibat Romanomermis culicivorax
Serangan nematoda pada beberapa jenis serangga

4.3.3.2. Serangga (Arthropoda)

Pemberantasan secara biologis dengan menggunakan serangga dilakukan secara intensif di Amerika untuk memberantas hama tanaman pertanian. Serangga ada yang bersifat parasit dan predator.

a.      Serangga parasit. Trichogramma spp. dapat digunakan untuk memberantas serangga hama, karena mangsanya relatif banyak dan perkembangbiakannya relatif cepat. Serangga lainnya ialah Erdoesina alboannulata (parasit terhadap pupa Panolis flammea dan ordo Lepidoptera lainnya); Dahlbominus fuscipennis (parasit terhadap kokon Diprion pini dan hama daun jarum); Platygaster manto Walk. [parasit terhadap larva Agevillea abietis (hama daun Abies alba)] dan serangga penggerek batang Helicomyia saliciperda; Misocyclops pini (penyengat kerdil) [parasit terhadap Thecodiplosis brachyntera (serangga penggerek Pinus spp.)] dan Carcelia gnava Meig. [parasit terhadap Malacosoma neustria L. (hama Quercus spp.)].

Riccardoella limacum (Fam. Trombidae) (Gambar) dikenal sebagai parasit pada bekicot. Kutu ini dapat lari dengan cepat pada tubuh bekicot yang berlendir dan masuk melalui permukaan lubang pernapasan dan menginfeksi saluran pernapasan tersebut.

Riccardoella habitus
The image “http://img03.picoodle.com/img/img03/3/10/5/f_Riccardoellm_15299d7.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Riccardoella limacum yang sedang menyerang bekicot

b.      Serangga predator. Untuk memberantas pupa Lymantria dispar (serangga pemakan daun Quercus spp.) disarankan menggunakan serangga predator Calosoma sycophanta, karena terbukti efektif, tetapi pengembangbiakannya agak sulit. Aphidecta obliterata terbukti efektif memberantas Liosomaphis abietina (kutu Picea sitchensis), sedangkan Chrysopa sp. efektif untuk memberantas kutu-kutu daun.
Semut Pheidologeton diversus dikenal sebagai predator bekicot yang berumah. Serangga predator bekicot lainnya dari Famili Silphidae dikenal Ablattaria laevigata Fab. dan Phosphuga atrata.
Dari Fam. Cantharidae terdiri dari Subfam. Lampyrinae dan Drilinae. Dari Subfam. Lampyrinae ada 4 genus: Lampyris (Gambar), Luciola, Photinus dan Photuris yang merupakan predator pada bekicot. Mereka hidup tersebar di Amerika, Eropa dan Asia, di belahan bumi bagian utara sampai ke Finlandia dan juga di Afrika, Algeria dan Marokko.
A
 
The image “http://aramel.free.fr/Lampyris-noctiluca-limace.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
C
 
B
 
Cerceris.
The image “http://www.heikobellmann.de/Vortraege/06-1.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
D
 
E
 
The image “http://www.meerskant.org/Glimworm.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
F
 
[DSC_0259+(Medium).JPG]
Firefly
Lampyris noctiluca (Kunang-kunang). A, sedang menyerang bekicot bugil. B, akan menyerang bekicot yang sedang berjalan. C, D dan E sedang menyerang bekicot berumah. F, stadium imago 

The image “http://www.digitale-naturfotos.de/galerie/images_kaefer/big/mg661-schwarzer-schneckenjaeger-phosphuga-atrata.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Ablattaria sp. dewasa dan larva yang sedang memakan bekicot (Anonim, 2006a). Paling kanan: Phosphuga atrata dewasa sedang memakan bekicot


Dari Fam. Staphinilidae dikenal jenis Ocypus olens (Gambar) yang di California sebagai predator bekicot Helix aspersa dan digunakan untuk pemberantasan secara biologis pada kebun jeruk.


Ocypus olens, serangga predator yang dapat memakan 20 bekicot Helix aspersa dalam waktu 3 minggu. Kiri: larva, kanan imago  


Sepedon macropus (Gambar) di Hawaii digunakan untuk pemberantasan secara biologis terhadap bekicot Lymnaea ollula.

B
 
A
 
Fly in wetland - Sepedomerus macropus
C
 
D
 

A, Sepedon macropus stadium dewasa, predator yang pada waktu hinggap kepalanya selalu menghadap ke bawah (Elliott, 2009). B, C dan D, S. macropus stadium larva yang sedang menyerang bekicot Lymnaea stagnalis (Godan, 1979)

4.3.3.3. Sterilisasi

Bertujuan untuk membuat serangga hama menjadi steril dan tidak dapat menghasilkan keturunan tanpa mengurangi aktivitas hidupnya, seperti makan, kopulasi, terbang dsb.

Ada 2 cara untuk membuat serangga hama menjadi steril:
a. Dengan penyinaran. Sinar radioaktif, sinar gamma dari isotop Cobalt (6OCo) dan Caesium (137Cs) antara 2~4 kr (kilorontgen) dan sinar Rontgen dosis tinggi dapat menyebabkan serangga hama menjadi steril. Bila serangga-serangga (baik jantan maupun betina) yang steril tersebut berkopulasi dengan serangga yang normal (tidak steril), maka akan menghasilkan keturunan yang sebagian steril dan sebagian lainnya normal dengan perbandingan lebih banyak steril daripada yang normal. Keadaan steril ini disebabkan karena pembelahan chromosom pada sel-sel kelamin mengalami kegagalan.

b. Dengan bahan kimia (chemosterilant). Tujuannya sama seperti dengan cara penyinaran. Ada 3 kelompok chemosterilant yang telah lama dikenal, yaitu:
b.1. Ethylenimin (Aziridin), contoh: Tepa, Thiotepa, Metepa, Apholate dsb. yang dapat membuat serangga jantan dan betina menjadi steril.
b.2. Antimetabolite, contoh: Purine dan Pyrimidine yang akan lebih efektif membuat serangga betina menjadi steril daripada kalau digunakan pada yang jantan.
b.3. Substansi lain, contoh: Phosphoramide, Triazine, Azadirachtin (ekstrak dari kulit pohon Azadirachta indica). Azadirachtin berpengaruh buruk tidak saja terhadap sel-sel kelamin, melainkan juga sel-sel tubuh.



V. HUTAN ALAM VERSUS HUTAN TANAMAN

Pertambahan jumlah penduduk dunia dengan segala peradabannya menyebabkan meningkatnya kebutuhan kayu dari tahun ke tahun. Dengan pertambahan jumlah penduduk ini juga, areal hutan tropis berkurang sekitar 7 juta ha per tahun (Larsen, tt). Menurut Mangundikoro (1984), pada saat ini kebutuhan kayu di dalam negeri mencapai 40 juta m3/tahun, sedangkan produksi kayu dari hutan alam hanya 38,4 juta m3/tahun. Diperkirakan mulai tahun 2000 hutan produksi di Indonesia yang seluas 64 juta ha itu sudah tidak lagi mampu menutupi kekurangan terhadap kebutuhan kayu. Diperkirakan bahwa pada tahun 2000 produksi kayu dari hutan alam hanya mencapai 60 juta m3/tahun, sedangkan kebutuhan kayu sudah mencapai 80 juta m3/tahun. Oleh karena itu pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah mutlak perlu dilaksanakan.

Tidak hanya di Indonesia saja yang membangun hutan tanaman, melainkan juga di negara-negara lain di daerah tropis dan subtropis dengan sistem yang sama, yaitu monokultur, baik dari jenis eksot maupun jenis asli. Menurut Evans (1982), luas hutan tanaman di daerah tropis dan subtropis kini mencapai sekitar 28 juta ha.

Tujuan dibangunnya HTI adalah sebagai berikut:
a.       Menunjang kelestarian penyediaan bahan baku untuk industri dalam negeri.
b.      Menunjang peningkatan dan kelestarian kayu olahan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
c.       Mengembalikan lahan-lahan yang tidak atau kurang produktif menjadi lahan-lahan yang mempunyai produktivitas tinggi.
d.      Memperluas lapangan kerja dalam sektor kehutanan.

Dalam hubungannya dengan gangguan patogen, banyak literatur dan laporan-laporan yang melaporkan adanya serangan patogen dari yang terserang ringan sampai berat. Dari laporan-laporan itu dapat dikutip beberapa jenis pohon yang dianggap rentan terhadap gangguan patogen (Larsen, tt).

a.    Jenis-jenis dari suku Meliaceae seperti Cedrela, Entandophragma, Khaya, Swietenia dan Toona, baik di habitat aslinya maupun di tempat tumbuhnya yang baru sering terserang hama penggerek pucuk Hypsipyla grandella, H. ferrealis (Amerika) dan H. robusta (Asia, Afrika).

The image “http://www.dnp.go.th/FIG/pests/hypsipyla/larvae_in_stem.gif” cannot be displayed, because it contains errors.
?
Hypsipyla grandella (Tapia, 2009) (paling kiri) dan H. robusta pada pucuk Swietenia macrophylla, mengakibatkan mati pucuk dan banyak percabangan (Cunningham, 2000)
b.   Jenis pohon di hutan alam kebanyakan resisten terhadap rayap, tetapi jenis-jenis cepat tumbuh di hutan tanaman yang monokultur kebanyakan rentan, terutama Eucalyptus spp. Hutan Eucalyptus spp. di Afrika (hutan tanaman di savanna) terserang rayap dengan frekuensi 70-100%. Jenis pohon lainnya yang rentan ialah Tectona, Pinus dan Swietenia.
Rayap yang menyerang pangkal pohon
(Anonim, 2006b)
The image “http://farm4.static.flickr.com/3080/2594704980_46e98dd58f.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Rayap yang menyerang bagian atas pohon
(Santos, 2009)
The image “http://www.olympiancares.com/images/termite-pxxx-6262.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Koloni rayap dengan ratunya
(Anonim, 2009b)

c.    Larva penggerek batang Hoplocerambyx spinicornis dan Oemida gahani di hutan alam dan hutan campuran tidak menyebabkan kerusakan berarti, tetapi di hutan monokultur Shorea robusta di India Utara, intensitas serangan hama ini mencapai 40%. Serangan 0. gahani terhadap empulur Pinus spp. di Afrika Timur mencapai intensitas yang berat.

d.   Penggerek batang Phoracantha semipunctata dan Gonipterus scutellatus di hutan alam Eucalyptus di Australia hanya menyebabkan kerusakan ringan, tetapi di Afrika Timur dan Selatan, juga di Timur Tengah (Israel, Mesir dan Zyprus), serangga ini menyebabkan kerusakan berat terhadap hutan tanaman monokultur.
Hoplocerambyx spinicornis (Blaxter and Stone, 2009)
Phoracantha semipunctata - male
Phoracantha semipunctata (Ziarko, 2001)
The image “http://www.forestpests.org/images/768x512/0176021.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Pohon Eucalyptus yang terserang
P. semipunctata
(Anonim, 2008)

e.   Pinus radiata di habitat aslinya California terserang Dothistroma septospora (D. pini) dengan kerusakan ringan, tetapi di tempat tumbuhnya yang baru di Afrika Timur mendapat serangan berat. Di Australia, New Zealand dan Chili, serangan dari jamur tersebut baru menurun setelah disemprot dengan fungisida berulang kali.

The image “http://www.extension.umn.edu/projects/yardandgarden/YGLNews/images2/Jan22008/USDA1_600px.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Daun Pinus yang terserang
Dothistroma septospora
(Grabowski, 2008)

Daun Pinus nigra
yang terserang
D. septospora
(Anonim. 2010)
The image “http://www.forestpests.org/nursery/images/fnp4-4.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
Spora D. septospora
(Petterson, 2004)

f.     Ganoderma lucidum (jamur patogen akar) di hutan campuran di India, Vietnam atau di Sudan tidak menyebabkan kerusakan berarti, tetapi di India Utara jamur ini menyerang tegakan monokultur Acacia catechu dengan intensitas serangan berat.

g.    Corticium salmonicolor menyerang tegakan Eucalyptus spp. (14 jenis) di India seluas 40.000 ha.

Tubuh buah Ganoderma lucidum (Anonim, 2009a)
Dari contoh-contoh tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa penyakit pada tegakan yang terdiri dari banyak jenis timbul hanya bersifat sporadis dan tidak menimbulkan kerusakan berarti, sebaliknya pada tegakan monokultur, timbulnya penyakit bersifat epidemi.

Selain rentan terhadap faktor biotik, hutan tanaman yang monokultur juga rentan terhadap faktor abiotik seperti angin dan api. Pada tahun 1980 angin Hurricane menerjang Jamaica, yang mana hutan alam campuran tetap utuh, tetapi hutan monokultur Pinus caribaea rusak berat (Thompson, 1983 dikutip Larsen, tt). Dari hasil pengamatan di Puerto Rico menunjukkan, bahwa hutan tanaman lebih rentan terhadap badai daripada hutan alam (Wadsworth and Englerth, 1959 dikutip Larsen, tt). Menurut Goldamer (1983) dikutip Larsen (tt), bahwa hutan tanaman lebih rentan terhadap bahaya kebakaran daripada hutan alam. Di Brasil Selatan sekitar 60% hutan tanaman habis terbakar. Di Australia pada tahun 1983 lebih dari 1 juta ha hutan tanaman terbakar, sepertiga darinya adalah hutan Pinus.

Timbul pertanyaan, mengapa hutan alam lebih resisten terhadap gangguan faktor biotik dan abiotik daripada hutan tanaman. Secara umum, perbedaan kedua tipe hutan itu dapat digambarkan seperti terlihat pada Tabel 2.





Tabel 2. Perbedaan ekologi antara hutan alam dan hutan tanaman

Pada Tabel 2 terlihat, bahwa tingginya diversitas jenis di hutan alam dengan banyak variasi bentuk kehidupan di dalamnya dan dengan perbedaan umur pohon serta stratanya, maka tercipta suatu ekosistem yang kompleks yang ditempati oleh konsumen (tumbuhan, serangga, reptilia, burung, binatang mamalia dsb. yang bersifat parasit, predator dan kooperatif). Jadi suatu organisme (mis: serangga) tidak hanya tergantung hidupnya dari inangnya, tetapi juga dari organisme lainnya.

Di hutan alam (hutan tropis) terdapat jenis tumbuhan, musuh/lawan, patogen, parasit dan predator secara berlimpah. Suatu jenis tumbuhan menjadi makanan banyak patogen dan parasit. Suatu jenis patogen atau parasit ini menjadi makanan banyak parasit lain dan predator, sedangkan parasit lain dan predator ini merupakan makanan dari banyak parasit atau predator lainnya lagi. Selain itu dapat terjadi perkelahian, baik antar jenis sendiri maupun dengan jenis lain pada parasit atau predator, sampai bisa terjadi kematian. Dengan demikian terjadilah keseimbangan populasi semua jenis patogen, parasit dan predator. Bila terjadi suatu keadaan yang mana suatu organisme parasit atau predator telah berkembang menjadi banyak, maka hal ini menjadi keadaan yang sangat baik pula bagi parasit lain atau predator lain untuk berkembang biak dan jumlah populasinya menjadi banyak pula, karena makanannya tersedia banyak. Maka populasi parasit atau predator yang satu tadi menurun, karena dimakan oleh parasit atau predator lain dan akan meningkatkan jumlah populasinya. Tetapi meningkatnya jumlah populasi parasit atau predator lain ini memacu parasit atau predator lainnya lagi untuk berkembang biak dan populasinya menjadi banyak pula dan begitu seterusnya, sehingga tidak ada suatu kesempatan bagi suatu organisme untuk berkembang menjadi jumlah populasi yang membahayakan.
Selain itu, karena di dalam hutan alam banyak sekali variasi jenis parasit atau predator, maka dalam mencari-cari inangnya dapat dimangsa oleh musuhnya, sehingga dapat menurunkan populasinya.

Sebaliknya kalau hutan alam itu diubah menjadi hutan tanaman yang monokultur, maka terjadilah perubahan besar terhadap struktur dan dinamika kehidupan di dalamnya. Dengan perubahan iklim mikro, maka hanya sedikit saja parasit dan predator yang tahan terhadap kondisi yang baru tersebut, sedangkan kebanyakan parasit dan predator lainnya tersingkir dengan sendirinya mencari tempat/lingkungan dan makanan di tempat lain yang sesuai. Parasit yang bertahan tersebut menjadi berkembang dengan cepat tanpa banyak gangguan, karena mendapatkan inangnya secara berlimpah yang berupa tanaman monokultur tersebut dan menjadi suatu keadaan yang membahayakan/merugikan. Berkembangnya parasit ini tidak diimbangi dengan berkembangnya predator, karena makanan bagi predator yang terbatas variasi jenisnya, sifat perkembangbiakan yang lambat dan sedikit jumlah kelahirannya, variasi jenis predator yang sedikit serta iklim mikro yang tidak menguntungkan. Menurut Trimurti (2001), seekor ngengat (imago) Xyleutes ceramicus (larvanya merupakan penggerek batang Gmelina dan Jati) dapat bertelur 2 sampai 4 kali selama hidupnya (4 sampai 9 hari) dengan jumlah telur antara 4.000 sampai 12.300 butir, umur telur 12 hari dengan persentase penetasan 75 sampai 90%. Dibandingkan dengan perkembangbiakan predatornya seperti jenis-jenis burung yang relatif lambat dan sedikit dalam setiap kali bertelur, maka jumlah predator tersebut tidak dapat menurunkan populasi hama dengan cepat.




Komentar

Postingan Populer