SEDIAAN KARBON TEGAKAN HUTAN SEKUNDER DI AREAL HUTAN PENDIDIKAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULAWARMAN PADA DUA WAKTU PENGUKURAN YANG BERBEDA
SEDIAAN
KARBON TEGAKAN HUTAN SEKUNDER DI AREAL HUTAN PENDIDIKAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN PADA DUA WAKTU PENGUKURAN YANG BERBEDA
Oleh :
EDDY SUSILO
NIM : 1204015040
FAKULTAS
KEHUTANAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
S A M A R I N D A
2016
I.PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hutan sebagai sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan
dan diperbaharui, dalam pengelolaanya haruslah didasarkan pada perencanaan yang
cermat sebagai salah satu faktor utama dalam pemanfaatan hutan secara efektif
dan lestari. Agar tujuan tersebut dapat tercapai diperlukan langkah-langkah
bijaksana dalam pengelolaannya, karena tidak hanya menyangkut kelestarian
sumber daya hutan itu sendiri, akan tetapi menyangkut pula sumber daya lainnya
serta lingkungan hidup. Informasi pertumbuhan pohon merupakan hal yang sangat
penting. Dengan melihat perlunya informasi tersebut maka banyak dilakukan
berbagai macam pengkajian maupun penelitian tentang pertumbuhan riap tegakan
untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan baik di hutan tanaman maupun hutan
alam.
Tujuan
utama pembangunan hutan saat ini adalah untuk memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dari sumber daya alam hutan yang berupa barang atau jasa
secara konsepsional, rasional dan lestari dalam rangka keikutsertaan dalam
mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. Serta tidak semata-mata
berorientasi pada masa kini, tetapi juga menjamin kelangsungan kehidupan di
masa depan. Oleh sebab itu pertumbuhan tegakan memegang peranan penting dalam
pengelolaan suatu kawasan hutan.
Dari pengukuran suatu tegakan dapat diketahui informasi diameter,
tinggi, posisi setiap pohon dari berbagai jenis dan family. Selanjutnya
dari hasil pengukuran tersebut dapat
memberikan gambaran tentang hubungan diameter dengan tinggi pada tegakan serta
menduga potensi volume tegakan yang tumbuh pada hutan sekunder.
Lebih jauh lagi dari kegiatan pengukuran tegakan atau
inventarisasi dapat diduga besarnya biomassa tegakan di atas tanah (above ground biomass) menggunakan
persamaan matematika tertentu. Informasi tentang biomassa hutan inilah yang
saat ini banyak dibahas dalam kaitannya
dengan isu perdagangan karbon atau skema REDD+.
Salah satu sumberdaya alam yang dapat diandalkan sebagai
sumber penyerap karbon adalah hutan. Dengan menggunakan persamaan allometrik
dapat digunakan untuk menduga biomassa tegakan, nilai masing-masing diameter
pohon dapat dikonversi menjadi nilai biomassa. Biomassa hutan memiliki kandungan karbon yang cukup
potensial yaitu 46% - 50 % dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur
karbon.
Berdasarkan informasi tersebut di muka perlu
dilakukan penelitian tentang potensi
volume pada suatu tegakan dan sediaan karbon pada biomassa tegakan hutan
sekunder sebelumnya pada tahun 2007 telah dilakukan pengukuran pada petak yang
sama yaitu terletak pada areal Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman (HPFKU). Areal HPFKU yang merupakan potret hutan sekunder Kalimantan
Timur yang keberadaanya dekat dengan Kota Samarinda sehingga menarik untuk
digali lebih dalam berbagai informasi yang terkandung didalamnya.
B. Tujuan
Penelitian
1.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan potensi volume hutan sekunder dengan
membandingkan hasil pengukuran pada tahun 2007.
2.
Mengetahui
pola distribusi sebaran diameter pohon setinggi dada
3.
Menyajikan
dalam kurva hubungan diameter dan tinggi tegakan.
4.
Mengetahui
kandungan karbon dalam biomassa tegakan.
5.
Serta
menggambarkan dalam peta sebaran pohon pada petak penelitian.
C. Manfaat
Penelitian
1.
Memberikan
informasi kandungan karbon dalam biomassa tegakan hutan sekunder pada areal
Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman serta sebaran pohon
pada petak penelitian.
2.
Menjadi
salah satu rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
kandungan karbon di atas tanah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran
Umum Hutan Sekunder Pasca Kebakaran
A.1. Hutan
Sekunder
Hutan
sekunder di berbagai negara mempunyai sebutan yang berbeda-beda. Di Inggris
disebut low bush atau Mainap, di Philipina disebut Parang, di Malaysia disebut belukar atau beluka dan ada juga yang menyebut Utan Muda (Ricard, 1979 dalam Toto,1995).
Istilah
“Hutan Sekunder” telah digunakan di dalam nomenklatur ilmiah paling tidak sejak
tahun 1950-an (Richards 1955, Greigh-Smith 1952). Walaupun akhir-akhir ini
istilah tersebut semakin sering digunakan, namun istilah ini masih belum biasa
dipakai di banyak negara. Di negara-negara tersebut, hutan-hutan yang terdiri
dari jenis-jenis pohon lokal biasanya didefinisikan sebagai hutan atau hutan
alami, tanpa mempedulikan apakah hutan tersebut merupakan hutan primer, hutan
bekas tebangan, atau hutan hasil regenerasi. Karena itu, istilah hutan sekunder
dapat mempunyai arti yang sangat berbedabeda. Hal ini disebabkan karena istilah
’hutan sekunder’, sebagai padanan dari istilah ’hutan primer’, menimbulkan
asosiasi-asosiasi langsung yang subyektif, yang sulit untuk dibuat
sistematikanya.
Menurut Lamprecht (1986) hutan
sekunder adalah hutan yang tumbuh dan berkembang secara alami sesudah terjadi
kerusakan atau perubahan pada hutan yang pertama. Hutan sekunder merupakan fase
pertumbuhan hutan dari keadaan gundul, karena alam ataupun antropogen, sampai
menjadi klimaks kembali.
Sedangkan Catterson (1994)
mendefinisikan hutan sekunder sebagai
suatu bentuk hutan dalam suksesi yang mengkolonisasi areal-areal yang
sebelumnya rusak akibat sebab alami atau manusia, dan yang suksesinya tidak
dipengaruhi oleh vegetasi asli di sekitarnya karena luasnya areal yang rusak.
A.2. Kebakaran Hutan
Definisi
Kebakaran Hutan menurut SK. Menhut. No. 195/Kpts-II/1996 yaitu suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan
yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya. Kebakaran hutan merupakan
salah satu dampak dari semakin tingginya tingkat tekanan terhadap sumber daya
hutan. Dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan adalah
terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti terjadinya
kerusakan flora dan fauna, tanah, dan air. Kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia terjadi hampir setiap tahun walaupun frekwensi, intensitas, dan luas
arealnya berbeda.
Salah
satu dari sekian banyak penyebab terdegradasinya hutan sekunder di Kalimantan
Timur yaitu kebakaran hutan. Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya
kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah aktivitas manusia dan hanya sebagian
kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran hutan alami menurut
Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsoran
batu, singkapan batu bara, dan tumpukan serasah. Namun menurut Saharjo dan
Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk
kasus kalimantan kurang dari 1%.
Beberapa
tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada
musim kering. Kebakaran cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada
tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Pada tahun 1982/1983 kebakaran telah
menghanguskan hutan hutan sekitar 3,5 juta hektar dan ini merupakan rekor
terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai
2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriatmadja, 1997).
Selanjutnya kebakaran hutan di Indonesia
terus berlangsung setiap tahun indonesia terus berlangsung setiap tahun
meskipun luas areal yang terbakar dan kerugian yang ditimbulkan relatif kecil
dan umunya tidak terdokumentasi dengan baik. Data dari Direktorat Jendral
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menunjukkan bahwa kebakaran hutan yang
terjadi tiap tahun sejak tahun 1998 hingga 2002 tercatat berkisar antara 3 ribu
hektar sampai 515 ribu hektar ( Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam, 2003). Data rekapitulasi luasan kebakaran hutan Provinsi
Kalimantan Timur Tahun 2011-2015 yang di unggah Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan yakni 2011 seluas 148,80 Ha, 2012 seluas 51,50 Ha, 2013 tidak
ada, 2014 seluas 325,19 Ha, 2015 seluas 109,00 Ha.
Berbagai upaya
pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan
perangkat hukum (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan SK Menteri sampai
Dirjen), namun belum memberikan hasil optimal. Dampak kebakaran hutan yang
cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998 menimbulkan dampak yang
sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan sumberdaya hutan
lainnya. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil
pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain
menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meingktakan gas rumah kaca.
Dampak lainnya adalah kerusakan
hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya marga satwa. Hutan yang terbakar
sulit di pulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya
tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak
dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering mucul
bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar .
B. Dinamika
Tegakan Hutan
B.1. Pertumbuhan tegakan
Pertumbuhan pohon adalah pertambahan ukuran (dimensi)
pohon atau tegakan sepanjang umurnya. Menurut Davis dan Jhonson (1987) pertumbuhan didefinisikan pertambahan dari jumlah
dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan.
Pertumbuhan ke atas (tinggi) merupakan pertumbuhan primer (initial growth), sedangkan pertumbuhan ke samping (diameter)
disebut pertumbuhan sekunder (secondary
growth).
Sedangkan riap menurut (Departemen Kehutanan,1992 dalam
Agus, 2004) merupakan pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu
tertentu, tetapi ada kalanya juga dipakai untuk menyatakan pertambahan nilai
tegakan atau pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun.
Riap
tegakan dibentuk oleh pohon-pohon yang masih hidup di dalam tegakan, tetapi
penjumlahan dari riap pohon ini tidak akan sama dengan riap tegakannya, karena
dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan dapat saja mati, busuk atau
beberapa lainnya mungkin ditebang. Sebagian besar pepohonan pada inventarisasi
awal tumbuh naik ke kelas diameter berikutnya yang lebih besar (upgrowth). Pada kelas diameter kecil,
penambahan pohon pada inventarisasi berikutnya berasal dari ingrowth yang tidak
terhitung pada inventarisasi awal. Jumlah pohon dalam tegakan berkurang akibat
kematian yang terjadi pada keseluruhan diameter, dimana laju kematian terbesar
terjadi pada kelas diameter terkecil (Davis and Jhonson, 1987 dalam Agus, 2004
).
Riap
volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon yang menyusun
tegakan tersebut (degree of stocking
), jenis, dan kesuburan tanah. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari
kecepatan tumbuh diameter,yang setiap jenis mempunyai laju (rate) yang berbeda-beda. Untuk semua
jenis pada waktu muda umumnya mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi,
kemudian semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti. Untuk hutan
tanaman biasanya pertumbuhan diameter huruf S karena pada mulanya tumbuh agak
lambat, kemudian cepat lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu
muda disebabkan tanaman hutan ditanam rapat untuk menghindari percabangan yang
berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil (tending thinnings) (Simon, 1996).
B.2. Mortalitas Pada
Tegakan Hutan
Mortalitas (kematian) adalah
banyaknya individu pohon yang mati selama periode pertumbuhan (Davis dan
Jhonson, 1987). Manokaran dan Swaine (1994) di acu dalam Abdulah (2003),
kematian pohon adalah pohon-pohon yang tidak menunjukan adanya pertumbuhan.
Menurut Silva et
al., (1993), rata-rata kematian pada diameter kecil dari periode pertama dan
kedua lebih tinggi diabnding kematian pada tahun-tahun berikutnya. Kematian
dapat diakibatkan oleh adanya naungan, infeksi virus dan serangga, kerusakan
akibat pemanenan, angin dan pembukaan kawasan hutan. Di hutan tropis rata-rata
kematian pada kisaran 1% - 5% (Alder, 1995).
Mortalitas
menyatakan banyaknya pohon yang mati selama masa pengamatan, yang di ukur tiap
tahun sekali . Menurut Abdullah (2003) penduga kematian pohon untuk semua
jenis, dinyatakan dengan rumus per kelas diameter sebagai berikut :
KD 10-19 :M = -374 + 197 Log N -36,9 Log B -0,000226
N2 (R2 = 69,9%)
KD 20-29 :M = 7,94 -0,0124B -0,00494 N + 0,480 M2 (R2 = 63%)
KD 30-39 :M = -4,2 + 1,18 M2 + 2,1 Log N (R2 =
56,3%)
KD 40 cm up:M
= 0,78 + 0,430 . I5 (R2
= 30,3%)
Diamana,
M = Laju kematian pohon (%/tahun)
I5 = Laju ingrowth pada kelas diameter 60 cm up (%/tahun)
M2= Laju kematian pada kelas
diameter 20 - 29 cm up (%/tahun)
Menurut
Vanclay (1994) faktor penyebab kematian pohon dapat dibedakan atas dua faktor,
yaitu :
1.Faktor reguler,
yakni kematian pohon yang disebabkan oleh faktor lingkungan ekologi dan
fisiologi pohon, seperti angin, penyakit dan sebagainya.
2.Faktor non
catastropic, yakni kematian yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
pasti, seperti kebakaran, pencurian/penjarahan dan sebagainya.
B.3. Pengukuran Dimensi Pohon
1.
Diameter Setinggi
Dada
Diameter
adalah sebuah dimensi dasar dari sebuah lingkaran. Diameter batang
disefinisikan sebagai panjang garis antara dua buah titik pada lingkaran di
sekeliling batang yang melalui titik pusat (sumbu) batang( Muhdin, 2003 dalam
Temmy,2009 ).
Diameter batang adalah dimensi pohon
yang paling mudah diperoleh/diukur terutama pada pohon bagian bawah. Tetapi oleh
karena bentuk batang yang pada umumnya semakin mengecil ke ujung atas (taper),
maka dari sebuah pohon akan dapat diperoleh tak hingga banyaknya nilai diameter
batang sesuai banyaknya titik dari pangkal batang hingga ke ujung batang. Oleh
karena itu perlu ditetapkan letak pengukuran diameter batang yang akan menjadi
ciri karakteristik sebuah pohon. Atas dasar ditetapkan diameter setinggi dada
atau dbh (diameter at breast height)
sebagai standar pengukuran diameter batang. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan
mengapa diameter diukur padaketinggian setinggi dada:(1) alasan kepraktisan dan
kenyamanan saat mengukur, yaitu pengukuran mudah dilakukan tanpa harus
membungkuk atau berjingkat;
(2)
pada kebanyakan jenis pohon ketinggian setinggi dada bebas dari pengaruh banir;(3)
dbh pada umumnya memiliki hubungan yang cukup erat dengan peubah-peubah
(dimensi) pohon lainnya (muhdin, 2003 dalam temmy, 2009).
Selain
mudah diperoleh/diukur, dbh juga merupakan dimensi pohon yang akurasi datanya
paling mudah dikontrol. Oleh karena itu dbh lebih sering digunakan sebagai
peubah mengukur dimensi-dimensi pohon lainnya.
Dalam
praktek pengukuran dbh, ketinggian setinggi dada ternyata terdapat perbedaan di
antara beberapa negara :
1.Negara dengan pengukuran sistem metrik, dbh = 1,30 m
diatas permukaan tanah (dat).
2.USA dan Kanada, dbh = 4 ft 6 in = 1,37 m.
3.Inggris dan beberapa negara persemakmuran ( pengukuran sistem British ), dbh = ft 3 in
= 1,29 m.
4. Jepang, dbh = 4 ft 1,2 in= 1,25 m.
Selain
untuk keperluan pendugaaan dimensi pohon lainnya, dimeter setinggi dada (dbh)
biasanya diukur sebagai dasar untuk keperluan perhitungan lebih lanjut,
misalnya untuk menentukan luas bidang dasar, dan volume. Luas bidang dasar
pohon adalah luas penampang lintang batang, sehingga dapat dinyatakan sebagai :
g =
; Dimana D = dbh. Selanjutnya perkalian antara
luas bidang dasar pohon dengan setinggi pohonnya (H) kemudian dikalian lagi
dengan faktor bentuk (f), maka akan diperoleh volume (V) batang pohon tersebut,
yang dapat diformulasikan sebagai : V = g.H.f
Pengukuran
diameter setinggi dada juga menghadapi masalah, bila bentuk batang di sekitar
1,3 m tidak normal. Misalanya membesar, mengecil, pengukuran diameter dilakukan
dengan menghitung rata-rata diameter bentuk normal yang terletak di atas dan
dibawah bagian yang tidak normal tersebut. Untuk pohon yang bercabang,
pengukuran diameter pohon bergantung pada letak percabangan itu. Bila
percabangan terletak di bawah 1,3 m, pengukuran dilakukan di atasnya. Dan pohon
tersebut dianggap etrdiri atas dua pohon atau lebih, menurut jumlah cabangnya.
Bila percabangan terletak diatas 1,3 m, poohon tetap dianggap hanya satu, dan
pengukuran diameternya dilakukan di bawah percabangan.
Dari
hasil penelitian dengan menggunakan empat jenis pohon ( red maple, yellow poplar, red oak dan white oak) di West Virginia, USA, Wiant (1998) menunjukan bahwa
untuk keempat jenis pohon tersebut, ternyata dbh bukanlah merupakan ukuran
diameter terbaik di dalam menduga dimensi volume. Hal itu ditunjukan oleh
besarnya koefisien determinasi tertinggi hubungan antara diameter dengan volume
diperoleh pada saat diameter pada bagian batang lebih tinggi dibanding dengan
dbh. Hasil penelitian tersebut, tampaknya mengilhami pengembanagan metode
perhitungan volume pohon baik pohon berdiri maupun sudah ditebang (rebah), dari
yang semula selalu tetap menggunak dbh sebagai salah satu dimensi dasarnya
menjadi diameter bagian lain yang letaknya pada batang bervariasi sesuai
karakteristikdari masing-masing batang atau pohon tersebut ( Muhdin,2003 dalam
Temmy,2009).
2.
Tinggi Pohon
Tinggi
pohon merupakan dimensi dasar penting lainnya. Tinggi pohon didefinisikan
sebagai jarak atau panjang garis terpendek antara suatu titik pada pohon dengan
proyeksi bidang datar. Istilah tinggi pohon hanya berlaku untuk pohon yang
masih berdiri, sedangkan untuk pohon rebah digunaka istilah panjang pohon (
Muhdin,2003 dalam Temmy,2009)
Tinggi
pohon adalah salah satu dimensi yang harus diketahui untuk menghitung nilai
volume pohon.
Husch et al. (1971) dan Loetsch (1973),
menjelaskan pengertian tinggi pohon yang biasanya digunakan dalam inventarisasi
hutan sebagai berikut:
a. Tinggi total, yaitu jarak vertikal antara bidang datar
tanah dan puncak pohon.
b. Tinggi batang atau tinggi pohon sampai pangkal tajuk
adalah jarak antara bidang tanah dan pangkal tajuk. Pengertian ini ditekankan
pada tinggi batang utama pohon yang bersih (bebas cabang).
c. Tinggi pohon perdagangan, yaitu jarak antara bidang tanah
sampai bidang pohon yang dapat dipergunakan atau diperdagangkan.
Apabila terdapat hubungan yang erat
antara dbh dengan tinggi pohon, maka secara fungsional tinggi pohon dapat
diduga oleh dbh. Cara ini dirasa lebih mudah dan praktis dibanding harus
mengukur langsung tinggi pohon.
Pengukuran pohon berdiri dapat
dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung pengukuran tinggi secara
langsung dapat dikerjakan dengan tongkat teleskopik, tetapi hanya sampai 15 m.
Oleh karena itu, alat ini penggunaanya terbatas pada pengukuran tinggi tegakan
muda atau tinggi batang bebas cabang.
Alat-alat ukur tinggi yang umum
digunakan adalah Suunto Clinometer. Pengukuran tinggi pohon menggunakan
Clinometer tidak diperlukan pengukuran jarak datar. Dengan bantuan tongkat ukur
sepanjang 4 m yang diletakkan pada batang pohon, si pengukur dapat mengukur
tinggi pohon. Skala Clinometer ada dua macam yaitu dalam persen(%) dan dalam
derajat (°).
Pada titik tertentu si pengukur
membidik ke puncak pohon atau tinggi yang didinginkan. Bacalah skala alat dalam
persen, bidik alat pada puncak pohon (Htop), bidik alat ke ujung tongkat (Hpol)
dan bacaan ke dasar pohon (Hbase). Tinggi pohon total diperoleh dari persamaan
:
h
.T
Htop =bacaan skala dalam persen pada puncak pohon.
Hpol =bacaan skala dalam persen pada ujung
tongkat.
Hbase =bacaan skala dalam persen pada dasar pohon.
T =panjang tongkat.
Pengukuran tinggi pohon di hutan
alami sangat sulit, apalagi kalau mengukur tinggi pohon total. Selain itu
penembakan persen pada dasar pohon biasanya sulit dilakukan terutama pada hutan
yang lebat. Oleh sebab itu dapat disarankan sebagai base digunakan bukan dasar
pohon melainkan pada ketinggian 1,5 m yang diberi tanda. Tinggi pohon
ditambahkan dengan 1,5 meter setelah dihitung dengan rumus umumnya.
3.
Volume pohon
Volume adalah suatu besaran tiga
dimensi dari suatu benda (obyek), yang dinyatakan dalam satuan kubik, yang
diturunkan atau didapatkan melalui perkalian antara satuan panjang, lebar dan
tebal atau tinggi.
Rumus umum volume kayu individu
pohon biasanya didasarkan pada rumus silinder, tetapi karena bentuk pohon yang
tidak persis seperti silinder maka rumus tersebut dikoreksi dengan faktor yang
disebut bilangan bentuk (form factor).
Parameter yang umum dipergunakan
untuk menghitung volume pohon adalah ukuran diameter setinggi dada. Karena
bentuk batang yang tidak silindris dari pangkal sampai tajuk/ujung, maka lahir
berbagai rumus untuk menentukan bilangan bentuk.
Rumus umum untuk
menaksirkan volume suatu pohon adalah :
V = g . h . fb
g =
Dbh2
V =
² . h . fb
Dimana ;
V : volume kayu
DBH : Diameter at Breast Height (m)
h : tinggi pohon
(m)
g : luas penampang
lintang pohon pada setinggi dada (m2)
fb: bilangan bentuk
C. Biomassa
Hutan
C.1. Pengertian Biomassa
Dalam Smith et. al (2004) disebutkan
biomasa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, cabang
dan tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan tanaman semusim. Nekromasa
merupakan masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan
atau telah tumbang, tunggak, ranting, dan serasah yang belum terlapuk.
Brown (1997) mendefinisikan biomassa
pohon sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon
termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama yang dinyatakan dalam berat
kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari biomassa pohon merupakan
selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk respirasi dan proses
pemanenan.
Penentuan biomassa dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan
dan dalam limbah pemanenan. Hampir 50% dari biomassa merupakan vegetasi hutan
tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam
bentuk Karbondioksida (CO2) apabila hutan tersebut terbakar.
Biomassa dapat dibedakan ke dalam
dua kategori yaitu biomassa di atas tanah (above
ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Biomassa di atas tanah adalah berat bahan unsur
organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi
sistem produktifitas, umur tegakan hutan dan distribusi organik. Pendugaan
biomassa vegetasi dapat menyediakan informasi tentang simpanan karbon dan
nutrisi di dalam vegetasi.
C.2. Metode Pendugaan Biomassa
Menurut
Chapman (1976) dalam Sumanti (2003), secara garis besar metode pendugaan
biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara, yaitu :
a. Metode Pendugaan Langsung
1. Metode pemanenan suatu tegakan
Metode ini dapat digunakan pada tingkat
kerapatan yang cukup rendah dan komunitas dengan jenis yang sedikit. Nilai
total biomassa yang diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh tegakan
dalam suatu unit area sampel.
2. Metode pemanenan kuadrat.
Metode ini mengharuskan memanen
semua tegakan dalam suatu unit area sampel dan menimbangnya. Nilai total
biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik tegakan yang dipanen
di dalam suatu unit area sampel.
3. Metode pemanenan tegakan yang mempunyai luas bidang
dasar rata-rata.
Metode
ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran seragam. Dalam metode untuk tegakan
yang ditebang ditentukan rata-rata diameternya lalu ditimbang beratnya. Nilai
total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari semua
tegakan sampel.
b. Metode Pendugaan Tidak Langsung
1. Metode hubungan allometrik
Persamaan allometrik dibuat dengan
mencari korelasi yang paling baik antar dimensi pohon dengan biomassanya.
Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter
ditebang dan ditumbangkan. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan
semua berat individu pohon dari suatu unit area tertentu.
2. Metode crop meter
Pendugaan
biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda
listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak
tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan
memperhatikan electrical capacitance
yang dihasilkan alat tersebut.
Adinugroho
dan Sidiyasa (2006) mengelompokkan komponen-komponen penyusun biomassa pohon di
atas permukaan tanah sebagai berikut :
a. Biomassa batang utama + kulit
b. Biomassa cabang
c. Biomassa ranting
d. Biomassa daun
e. Biomassa tunggak
Pengukuran biomassa tunggak, batang, dan cabang beraturan
dihitung menggunakan pendekatan volume dikalikan kerapatan kayu pada setiap
bagian komponen tersebut. Untuk pengukuran biomassa daun, ranting dan cabang
tidak beraturan dilakukan dengan cara penimbangan secara langsung.
C.3. Model Persamaan Allometrik
Penetapan persamaan allometrik yang
akan dipakai dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting proses
pendugaan biomassa. Setiap persamaan allometrik dikembangkan berdasarkan
kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain.
Dengan demikian pemakaian suatu persamaan yang dikembangkan di suatu lokasi
tertentu, belum tentu cocok apabila diterapkan di daerah lain. Sebagai contoh,
persamaan-persamaan yang dikembangkan di daerah beriklim sedang (temperate) yang komposisi vegetasinya
cenderung homogen, akan kurang tepat apabila diterapkan di daerah tropika yang
variasi spesiesnya tinggi, persamaan yang dikembangkan di daerah lembab/basah
juga tidak cocok bila diterapkan di daerah kering atau sebaliknya.
Model persamaan allometrik penduga
biomassa tegakan hutan yang bersifat global telah dikembangkan oleh Brown
(1997) dalam berbagai jenis hutan yang dikelompokkan berdasarkan curah hujan.
Persamaan yang dikembangkan menggunakan parameter diameter yang diukur setinggi
dada orang normal atau dbh (1,3 m) dan tinggi total.
Persamaan tersebut diperuntukkan
untuk 3 zone iklim yang berbeda, yaitu kering, lembab dan basah. Suatu tempat
dikatakan masuk dalam zona kering apabila curah hujan lebih rendah dibandingkan
dengan potensial evapotranspirasi (misalnya curah hujan <1500 mm/th dan
periode kering selama beberapa bulan). Zona lembab adalah zona yang curah
hujannya mendekati seimbang dengan potensial evapotranspirasi (misalnya curah
hujan antara 1500-4000 mm/th dengan tanpa periode kering atau periode kering
sangat pendek). Zona basah mempunyai curah hujan yang lebih besar dari
potensial evapotranspirasi (misalnya >4000 mm/th dan tanpa periode kering).
Jumlah curah hujan ini hanya
merupakan acuan dan umumnya diterapkan untuk dataran rendah saja. Sejalan
dengan naiknya elevasi (ketinggian tempat), temperature akan menurun dan sebagi
akibatnya potensial evapotranspirasi juga menurun, dan zona klimatik akan lebih
basah pada curah hujan yang sama. Sebagai contoh, curah hujan tahunan 1200
mm/th di dataran rendah akan masuk di zona kering, tetapi pada ketinggian 2500
m dpl, curah hujan yang sama akan masuk ke dalam zona basah. Dengan demikian
perlu kehati-hatian untuk memilih persamaan-persamaan di atas (Brown, 1997).
Tabel 2.1. Contoh persamaan
allometrik pendugaan biomassa tegakan Dipterokarpa dan Non Dipterokarpa yang
dibuat oleh Basuki (2012).
Jenis pohon
|
Persamaan allometrik
|
R² (%)
|
Se
|
Dipterocarpus sp.
|
ln(TAGB) =-1.232 +
2.178. ln(DBH)
|
98,9
|
0,210
|
Shorea sp.
|
ln(TAGB) =-2,193 +
2,371. ln(DBH)
|
98,4
|
0,260
|
Jenis komersil
|
ln(TAGB) =-1,498 +
2,234. ln(DBH)
|
98,1
|
0,252
|
Jenis campuran
|
ln(TAGB) =-1,201 +
2,196. ln(DBH)
|
96,3
|
0,335
|
Keterangan: TAGB = Total Above Ground Biomass (kg/pohon),
DBH = Diameter at Breast Height (cm),
R2 = Nilai koefisien diterminasi, Se = Standard Error
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di areal Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman (HPFKU) Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam waktu
6 bulan efektif meliputi studi kepustakaan,
pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisis data serta penulisan
skripsi.
B.
Peralatan dan Bahan
Peralatan
yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan adalah sebagai berikut:
1.
Phi-band,
untuk mengukur diameter setinggi dada.
2.
Kompas,
untuk menentukan azimuth.
3.
Clinometer, untuk menghitung tinggi pohon.
4.
Rollmeter, digunakan
untuk mengukur panjang dan jarak datar
5.
GPS
(Global Positioning System), untuk
mengetahui koordinat
6.
Steples
tembak
7.
Tally sheet, digunakan untuk pencatatan data.
8.
Parang,
digunakan untuk membersihkan lokasi.
9.
Kamera
digital, sebagai dokumentasi objek-objek penelitian.
Bahan yang digunakan dalam
pengambilan data di lapangan adalah sebagai berikut:
1. Label, untuk memberikan identitas pada pohon berupa nomor
pohon, jenis dan diameter.
2. Alat tulis menulis.
3. Tali rafia, digunakan untuk menandai batas petak
penelitian.
C.
Prosedur Penelitian
C.1. Studi Kepustakaan
Studi
kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh bahan dalam penelitian, berupa data
sekunder yang diperlukan untuk menunjang
kegiatan penelitian, baik berupa buku-buku acuan yang berhubungan dengan jenis
hutan, dimensi pohon, cara perhitungan maupun masukan-masukan dari berbagai
nara sumber.
C.2. Observasi Lapangan
Observasi
lapangan dimaksudkan untuk mengetahui keadaan umum dari areal hutan tempat
penelitian. Dari observasi ini di harapkan diperoleh informasi dasar tentang
kondisi dan areal hutan tempat penelitian untuk dipergunakan dalam penentuan
metode penelitian dalam pengambilan data.
C.3. Prosedur
Pengambilan data
C.3.1. Pembuatan
Plot Penelitian
Dalam kegiatan
penelitian ini dibuat 4 plot dengan ukuran masing-masing 100mx100m atau 1
hektar. Penentuan petak penelitian di lakukan berdasarkan penelitian yang telah
dilaksanakan pada tahun 2007.
Bentuk plot dan posisi antar plot tersaji dalam gambar
3.1.
Gambar 3.1. Desain
petak penelitian
C.3.2. Pengumpulan
Data
Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu data
sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu merupakan data yang diperoleh
dari Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman yaitu :
a. Peta lokasi penelitian.
b. Informasi umum atau profil HPFKU.
c. Data hasil inventarisasi tegakan di areal plot yang sama
tahun 2007.
Sedangkan
data primer yaitu data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung
di lapangan yang yakni kegiatan:
a. Inventarisasi pohon di 4 petak penelitian seluas masing –
masing 1 hektar.
b.
Informasi
yang dikumpulkan dalam kegiatan inventarisasi tersebut adalah diameter setinggi
dada, tinggi total pohon, jenis pohon dan posisi pohon. Koordinat posisi pohon
diambil menggunakan GPS (Global
Positioning System) Garmin montera dan Garmin 67csx.
D.
Pengolahan Data
D.1. Perhitungan
volume pohon
a. Volume pohon dihitung dengan menggunakan rumus umum
(Simon, 1996) sebagai berikut:
V
=
. π.
(DBH) 2 . h . fb
Dimana
:
DBH
= Diameter at Breast Height (m)
h
= Tinggi (m)
π = 3.141592654
Fb
= Angka bentuk 0,7
Dalam menghitung volume total (Vt) dengan volume bebas
cabang (Vbc) yang berbeda pada pengukuran tinggi pohon apabila volume total
menggunakan tinggi total sedangkan volume bebas cabang menggunakan tinggi bebas
cabang. Volume tegakan per petak =
D.2. Pembentukan kurva tinggi
Kurva
tinggi adalah kurva yang memberikan gambaran tentang hubungan diameter dengan
tinggi. Hubungan antara diameter dengan tinggi dibentuk dengan melalui
pengukuran diameter dan tinggi total sejumlah individu pohon, kemudian
menghubungkan keduanya dengan analisis regresi sehingga bisa dibentuk sebuah
persamaan kurva tinggi. Data lapangan yang sudah dihitung akan menghasilkan informasi
tentang diameter, tinggi total dari semua pohon contoh. Kurva tinggi yang dapat
digunakan adalah kurva yang hubungan antara diameter dan tingginya cukup kuat.
Gambar 3.2 Contoh kurva
hubungan diameter dan tinggi pohon model (Curve
of relationship between diameter and high of crown base of sample trees)(Sumber
: Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala)
D.3. Perhitungan Biomassa
dan Kandungan Karbon
Perhitungan
biomassa dan cadangan karbon di atas permukaan tanah dengan pendekatan volume dilakukan
dengan menggunakan persamaan allometrik Brown (1997). Menurut Basuki (2012)
Persamaan Brown dipilih karena Sejauh ini persamaan alometrik untuk hutan
tropis multi-spesies Indonesia telah diterbitkan dan pengembangannya persamaan
alometrik untuk hutan tropis yang menggunakan data yang dikumpulkan dari Kalimantan
dan daerah tropis lainnya.
Tabel 3.1. Persamaan allometrik penduga biomassa tegakan berdasarkan
kondisi curah hujan
No
|
Tempat tumbuh
Curah Hujan
(mm/th)
|
Persamaan
|
Range
DBH
(cm)
|
Jumlah
sample pohon
|
R²
|
|
1
|
Kering (< 1500 )
|
Y = 0,1329D²·³²
|
5 - 40
|
28
|
0,89
|
|
2
|
Lembab (1500 - 4000)
|
Y = 42,69 – 12,8D + 1,242D2
|
5- 148
|
170
|
0,84
|
|
Y = 0,118D²·³¹
|
5- 148
|
170
|
0,97
|
|||
3
|
Basah (>4000)
|
Y = 21,3 – 6,95D +
0,74D²
|
4 - 112
|
169
|
0,92
|
Sumber : Brown (1997) dalam fadhli (2009).
Berdasarkan
curah hujan pada tempat penelitian digunakan persamaan sebagai berikut :
Y = 0,118 x DBH²·³¹
Keterangan:
Y = biomassa total (kg)
DBH = Diameter at
Breast Height (cm)
a.
Untuk
menghitung kandungan karbon, maka dilakukan konversi dari biomassa ke dalam
bentuk karbon. Biomassa tersebut dikali dengan faktor konversi sebesar 0,5
(Brown 1997), dengan rumus:
C
= B x 0,5
Keterangan:
C
= Jumlah stok karbon (ton/ha)
B
= Biomassa total tegakan (ton/ha)
b. Sebagai pembanding biomassa tegakan juga dihitung
menggunakan allometrik yang digunakan pada hutan sekunder campuran di Sumatera,
tapi persamaan ini tidak diklasifikasikan sebagai hutan dipterokarpa dibuat
oleh Kettering et al. (2001), yakni ;
B = 0,11 . ρ .
Keterangan :
B = Biomassa pohon (kg/pohon)
DBH = Diameter at
Breast Height (cm)
ρ = Berat jenis pohon (g/cm3)
Untuk
penghitungan biomassa di hutan alam
menggunakan rataan berat jenis
kayu sebesar menggunakan rataan 0,68 gr/cm3, sedangkan di hutan tanaman
menggunakan berat jenis kayu sebesar 0,61 gr/cm3 (Rahayu et al., 2006).
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran
Umum Lokasi
Penelitian
A.1. Letak Lokasi Penelitian
`Luas Kawasan Hutan Pendidikan Fakultas
Kehutanan Universitas Mulawarman (HPFKU)
adalah ± 300 ha. Secara geografis kawasan ini terletak antara 117°14’0”
- 117°14’4” Bujur Timur (BT) dan 0°25’10” - 0°25’24” Lintang Selatan (LS).
Secara umum kondisi topografis di lokasi penelitian adalah bergelombang dengan
kelerengan rendah sampai sedang. Tanahnya tergolong jenis ultisol (Abdurahman,
1993).
Dari luas 300 ha HPFKU, sekitar 60
ha dikelola sebagai obyek wisata alam. Dalam kawasa wisata alam dilengkapi
dengan berbagai fasilitas pendukungnya di bangun antara lain; lamin, gazebo,
panggung terbuka, dan lain-lain. Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman terletak di Kelurahan Tanah Merah Kecamatan Samarinda Utara, Kota
Samarinda Provinsi Kalimantan Timur. Batas-batas Kelurahan Tanah Merah sebagai
berikut :
·
Sebelah
Utara : Kelurahan Sungai Siring.
·
Sebelah
Selatan : Kelurahan Mugirejo.
·
Sebelah
Barat : Kelurahan Lempake.
·
Sebelah
Timur : Kelurahan Sungai Siring.
A.2.
Karakteristik
Biogeofisik Lokasi Penelitian
a.
Kondisi Fisiografis dan Tanah
HPFKU
mempunyai bentuk lahan perbukitan dan punggung-punggung relatif sempit dan
lereng relatif pendek. Tanah di area tergolong kedalam jenis Podsolik Merah Kuning
dan tekstur tanah liat berpasir berwarna kuning sampai Lempung Berliat berwarna
kemerah-merahan (Harjono, 1967).
b.
Kondisi Hidrologi
Berkaitan dengan
lokasi HPFKU yang berada di bagian tengah hulu sub Daerah Aliran Sungai Karang
Mumus, dimana karena kondisi seperti ini terdapat adanya cabang-cabang Sungai
Karang Mumus yang berada di kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman yang selanjutnya mengalir kearah selatan menuju Sungai Mahakam
(Anonim,1999).
c.
Kondisi Topografi
Secara umum lahan
pada kawasan Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (HPFKU)
dapat dibedakan kedalam tiga kelompok lahan utama yaitu lahan kering, lahan
rawa rendah dan lahan topografi peralihan yang dapat di jeaskan sebagai berikut
;
1.
Lahan
Kering, terbentuk dari arah barat menuju
Timur Laut dan Tenggara yang berupa perbukitan.
2.
Lahan
Rawa Rendah, terbentang dari arah Barat Daya menuju Timur Laut.
3.
Lahan
Topografi Peralihan, lahan ini berada terpencar antara topografi lahan kering
dan lahan rawa rendah yang dapat mengering pada saat musim panas dan menjadi
basah pada musim hujan. HPFKU memiliki ketinggian antara 52 – 100 m dari
permukaan laut dengan relief bergelombang sampai agak berbukit ( Riswan, 1976
dikutip Boer.dkk, 1988).
d.
Keadaan Iklim
Rata - rata curah hujan dari tahun 2007 sampai dengan
tahun 2015 yaitu 200.4 mm/bulan, 162,7 mm/bulan, 203.7 mm/bulan, 249.2 mm/bulan, 201.7
mm/bulan, 237.8 mm/bulan, 199,0 mm/bulan (Stasiun Meteorologi Bandara Temindung
dalam Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015). Rata-rata curah hujan
tahunan yang diperoleh dari data 10 tahun sebesar 2261,8 mm/tahun dan rata-rata
curah hujan bulanan sebesar 188,5 mm/bulan. Curah hujan rataan bulanan maksimum
terdapat pada bulan maret sebesar 252,4 mm dan curah hujan rataan bulanan
minimum terdapat pada bulan agustus sebesar 101,8 mm. Curah hujan tertinggi
pada bulan maret sebesar 417,3 dan hari hujan tertinggi sebesar 28 hari
(Cholifah, 2008).
B.
Hasil Penelitian
B.1. Inventarisasi Hutan
Hasil inventarisasi hutan terhadap
petak penelitian dengan luas keseluruhan 4 ha memberikan gambaran tentang
struktur dan komposisi tegakan tegakan pada areal penelitian yang terbaru.
Kondisi hutan di areal penelitian saat ini adalah menggambarkan bagaimana
proses regenerasi hutan berlangsung selama lebih kurang 18 tahun setelah
terjadinya kebakaran pada tahun 1997/1998 yang lalu. Ringkasan data hasil
pengukuran lapangan terhadap petak penelitian disajikan pada Tabel 4.1,Tabel 4.2,Tabel
4.3 dan peta sebaran pohon pada Gambar 4.1.
Tabel 4.1. Ringkasan Data Pada Petak Penelitian Tahun
2015
Petak
|
Luas (ha)
|
Jumlah Pohon >10cm
|
Jumlah Jenis
|
Jumlah Family
|
Basal Area (m2)
|
Volume Total (m3)
|
C14
|
1
|
237
|
78
|
36
|
14,7
|
255,9
|
C15
|
1
|
207
|
71
|
32
|
15,8
|
256,7
|
D14
|
1
|
290
|
64
|
29
|
14,5
|
201,0
|
D15
|
1
|
251
|
82
|
36
|
13,2
|
197,1
|
Rata-rata/hektar
|
|
246,3
|
73,8
|
33,3
|
14,5
|
227,7
|
Tabel 4.2. Ringkasan Data Dominasi Family Pada Petak
Penelitian Tahun 2015
Petak
|
Family
|
||||
Euphorbiaceae
(%)
|
Lauraceae (%)
|
Moraceae (%)
|
Phyllanthaceae (%)
|
Malvaceae
(%)
|
|
C14
|
26.2
|
21.9
|
6.3
|
2.5
|
6.3
|
C15
|
9.7
|
21.7
|
16.4
|
5.3
|
5.3
|
D14
|
14.1
|
17.2
|
9.3
|
6.9
|
5.2
|
C15
|
9.7
|
21.7
|
16.4
|
5.3
|
5.3
|
Total Dominasi Family(%)
|
15.1
|
19.9
|
9.9
|
5.0
|
6.3
|
Tabel 4.3. Ringkasan Data Pada Petak Penelitian Tahun
2007
Petak
|
Luas (ha)
|
Jumlah Pohon >10cm
|
Jumlah Jenis
|
Jumlah Family
|
Basal Area (m2)
|
Volume Total (m3)
|
C14
|
1
|
445
|
129
|
33
|
18,8
|
261,6
|
C15
|
1
|
360
|
73
|
31
|
13,1
|
198,5
|
D14
|
1
|
303
|
68
|
24
|
16,8
|
270,2
|
D15
|
1
|
351
|
62
|
28
|
14,9
|
248,0
|
Rata-rata/hektar
|
|
364,8
|
83,3
|
29
|
15,7
|
244,6
|
Sumber : Suhardiman (2007).
Berdasarkan hasil pengukuran
menggunakan GPS (Global Positioning
System) maka diperoleh posisi koordinat pada setiap pohon dengan
menggunakan aplikasi Arcgis 10.2.2 dapat
disajikan dalam gambar di bawah ini:
Gambar 4.1. Peta sebaran diameter dan jenis pohon
padalokasi penelitian.
Tabel 4.3 merupakan
pengukuran tahun 2007 tersebut diatas terlihat bahwa rataan jumlah pohon pohon
per hektar pada tegakan adalah 365 pohon dengan basal area rataan sebesar 15,7 m².
Sedangkan dari tabel 4.1 merupakan pengukuran tahun 2015 terlihat bahwa rataan
jumlah pohon per hektar pada tegakan adalah 246 pohon dengan basal area rataan
sebesar 14,5 m², kondisi ini menunjukan bahwa pohon yang berada dalam petak
penelitian ini banyak yang kecil.
Hasil pengukuran
terbaru menunjukan penurunan jumlah
individu dari famliy Euphorbiaceae,
Morace, Lauraceae, Phyllanthaceae, Malvaceae serta jenis, dan basal area
namun jumlah family bertambah. Penurunan jumlah individu secara keseluruhan
terbesar pada petak C14 yaitu 208 pohon dan C15 yaitu 153 pohon, berkurangnya
individu tersebut di akibatkan adanya areal pada sekitar aliran sungai
tergenang endapan lumpur dari tambang batu bara di dekat HPFKU. Dari hasil
perhitungan volume rata-rata seluruh petak juga mengalami penurunan namun pada
petak C15 mengalami kenaikan volume hal ini disebabkan oleh pohon dengan
diameter lebih dari atau sama dengan 20 cm dari hasil pengamatan sedikit yang
mengalami kematian dibandingkan pada petak C14,D14 dan D15.
Lebih jauh lagi hal ini disebabkan
petak penelitian berada pada hutan sekunder yang sedang mengalami tahap – tahap
suksesi. Menurut Irwanto (2006) tahap – tahap perkembangan hutan suksesi
sekunder yaitu fase permulaan, fase
awal/muda, fase dewasa, fase klimaks. Petak penelitian berada fase awal/ muda
yang menuju fase dewasa ditandai dengan jenis jenis pohon pionir awal yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut pertumbuhan tinggi yang cepat, kerapatan
kayu yang rendah, pertumbuhan cabang sedikit, daun-daun berukuran besar yang
sederhana, relatif muda/cepat mulai berbunga, masa hidup yang pendek (7- 25
tahun).
Kebutuhan cahaya
yang tinggi menyebabkan bahwa tingkat kematian pohon-pohon pionir awal pada
fase ini sangat tinggi, dan pohon-pohon tumbuh dengan umur yang kurang lebih
sama. Setelah pohon-pohon pionir awal mencapai tinggi maksimumnya, mereka akan mati
satu per satu dan secara berangsur-angsur digantikan oleh pionir-pionir akhir
yang juga akan membentuk lapisan pohon yang homogen (Finegan, 1992).
B.2. Distribusi
Diameter
Data
hasil pengukuran di lapangan yang ditunjukan Tabel 4.4 memperlihatkan data
sebaran diameter yang dikelompokan dalam kelas-kelas diameter. Dalam kondisi
yang lebih besar, sebaran diameter ini akan membentuk struktur tegakan seperti
yang disampaikan Loetsch et al (1973), yang menyatakan bahwa struktur tegakan atau
hutan menunjukan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas tajuk.
Lebih jauh dikatakan juga bahwa pembuatan distribusi
diameter batang dilakukan dengan cara mengelompokan data hasil pengamatan
diamater di lapangan ke dalam kelas-kelas tertentu, selanjutnya disebutkannya
jika pohon-pohon dari suatu tegakan dikelompokkan dalam suatu kelas interval
diameter maka didapatkan distribusi diameter yang merupakan gambaran tentang
struktur tegakan. Distribusi diameter tegakan J terbalik menggambarkan menggambarkan
populasi tegakan dengan dimensi yang lebih kecil atau berdiameter kecil
memiliki angka lebih besar dalam hal jumlah. Bentuk ini merupakan kejadian umum
pada hutan alam di mana kelas diameter kecil mendominasi areal hutan dan
mengalami penurunan pada kelas diameter besar.
Tabel 4.4. Kelas diameter dan frekuensi pohon pada
petak C14,C15,D14 dan D15
Petak
|
Kelas Diameter
|
Frekuensi (2007)
|
Frekuensi(2015)
|
C14
|
10 – 19,9cm
|
209
|
112
|
20 – 29,9cm
|
41
|
65
|
|
30 – 39,9cm
|
24
|
38
|
|
40 – 49,9cm
|
7
|
10
|
|
>50 cm
|
22
|
12
|
|
C15
|
10 – 19,9cm
|
256
|
109
|
20 – 29,9cm
|
65
|
48
|
|
30 – 39,9cm
|
8
|
23
|
|
40 – 49,9cm
|
10
|
11
|
|
>50 cm
|
12
|
16
|
|
D14
|
10 – 19,9cm
|
282
|
168
|
20 – 29,9cm
|
41
|
63
|
|
30 – 39,9cm
|
14
|
36
|
|
40 – 49,9cm
|
13
|
12
|
|
>50 cm
|
10
|
11
|
|
D15
|
10 – 19,9cm
|
316
|
151
|
20 – 29,9cm
|
73
|
57
|
|
30 – 39,9cm
|
30
|
17
|
|
40 – 49,9cm
|
16
|
10
|
|
>50 cm
|
10
|
16
|
Tabel 4.4. Merupakan kelas diameter dan frekuensi pohon
pada petak C14,C15,D14 dan D15 Bentuk distribusi sebaran diameter pohon
dari Gambar 4.1 - Gambar 4.4 dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 4.2. Diagram distribusi sebaran kelas diameter
seluruh individu pohon pada petak C14.
Gambar 4.3. Diagram distribusi sebaran kelas diameter
seluruh individu pohon pada petak C15.
Gambar 4.4. Diagram distribusi sebaran kelas diameter
seluruh individu pohon pada petak D14.
Gambar 4.5. Diagram distribusi sebaran kelas diameter seluruh individu
pohon pada petak D15.
Dari seluruh gambar distribusi kelas
diameter di atas terlihat bahwa sebaran diameter memiliki pola penyebaran
diameter dari hutan alam secara umum. Bentuk sebarannya yaitu J terbalik.
Populasi tegakan dengan dimensi yang lebih kecil atau berdiameter kecil
memiliki angka lebih besar dalam hal jumlah. Bentuk ini merupakan kejadian umum
pada hutan alam dimana kelas diameter kecil mendominasi areal hutan dan
mengalami penurunan pada kelas diameter besar.
Frekuensi didominasi
oleh kelas diameter 10cm - 19.9cm yang menempati ± 72.9% tahun 2007 dan 54.8%
tahun 2015 dari jumlah total seluruh pohon yang berada dalam petak penelitian
sedangkan kelas diameter yang berada di atasnya hanya 12.1% tahun 2007 dan
45.2% tahun 2015. Dari hasil pengukuran tahun 2015 menunjukan adanya penurunan
jumlah individu pohon, frekuensi kelas diameter 10cm - 19.9cm sedangkan
frekuensi kelas diameter lebih dari atau sama dengan 20cm mengalami kenaikan
presentasenya kecuali pada petak C14 pohon dengan diameter sama dengan atau
lebih dari 50cm mengalami penurunan frekuensi hal ini terlihat banyaknya pohon
mati pada petak tersebut. Loetsch et al
(1973) dalam abdurachman (2008) menyatakan perkembangan struktur tegakan
dipengaruhi oleh jenis penyusun dan
faktor lingkungan dari tegakan tersebut.
Hal yang
sama ditunjukkan pada hasil pengamatan yang dilakukan oleh Bratawinata (1994)
di hutan primer, hutan sekunder, hutan campuran, hutan Dipterocarpaceae, hutan
Agathis, hutan Ericacema di Desa Long Mamay Kalimantan Timur, Sutisna dan Suyana
(1997) di PT ITCI kenangan Kalimantan Timur, Sutisna dan Ruhiyat (1999) di PT.
Sari Bumi Kusuma Kalimantan Barat, Susanty (2003) di PT Sumalindo Lestari Jaya
II, Long Bangun Kalimantan Timur, menunjukan bahwa bentuk struktur yang diamati
sama yaitu tegakan pohon paling banyak pada diameter kecil dan semakin sedikit
dengan bertambahnya diameter. Hal ini menampakan suatu ciri khas struktur
diameter hutan alam, baik dari hutan primer maupun tegakan tinggal.
B.3. Hubungan Diameter dengan Tinggi Total
Berdasarkan hasil pengukuran diameter menggunakan phi band dan tinggi pohon
menggunakan clinometer maka diperoleh data hubungan regresi diameter dan tinggi
total tanaman seperti disajikan pada gambar dibawah ini:
Gambar 4.6.
Diagram pencar hubungan diameter dan tinggi total model (Scatter diagram of height and diameter relationship models) petak
C14.
Gambar 4.7. Diagram pencar hubungan diameter dan tinggi
total model (Scatter diagram of height
and diameter relationship models) petak C15.
Gambar 4.8.
Diagram pencar hubungan diameter dan tinggi total model (Scatter diagram of height and diameter relationship models) petak
D14.
Gambar 4.9.
Diagram pencar hubungan diameter dan tinggi total model (Scatter diagram of height and diameter relationship models) petak
D15.
Dari
Gambar 4.6. – Gambar 4.9. terlihat bahwa pertumbuhan diameter memiliki hubungan
yang cukup erat dengan pertumbuhan tinggi dimana hal itu di tunjukan dengan
nilai koefisien determinasi (R²) yaitu 0.521, 0.386, 0.448, 0.530. keeratan
hubungan antara diameter dari nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1
maka semakin signifikan. Gambar 4.10. Sedangkan diagram pencar hubungan
diameter dan tinggi total model (Scatter
diagram of height and diameter
relationship models) seluruh petak penelitian terlihat bahwa pertumbuhan
diameter memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan tinggi dimana hal
itu di tunjukan dengan nilai koefisien determinasi (R²) yaitu 0.462.
B.4. Kandungan Karbon
Berdasarkan hasil pengukuran pada petak
penelitian diperoleh data seperti disajikan pada Tabel dibawah ini :
Tabel 4.5. Data
Hasil Perhitungan Volume dan Biomassa
Petak
|
Volume (m3)
Tahun 2007
|
Biomassa (ton)
Brown, Tahun 2007
|
Biomassa (ton)
Kettering, Tahun 2007
|
Volume (m3)
Tahun 2015
|
Biomassa (ton)
Brown, Tahun 2015
|
Biomassa (ton)
Kettering, Tahun 2015
|
C14
|
270,2
|
79,7
|
168,8
|
255,9
|
68,8
|
139,8
|
C15
|
248,0
|
70,4
|
147,3
|
256,7
|
80,9
|
181,9
|
D14
|
198,5
|
58,6
|
115,8
|
201,1
|
65,1
|
127,3
|
D15
|
261,6
|
82,8
|
166,9
|
197,2
|
61,6
|
125,1
|
Rata-rata/hektar
|
244,6
|
72,9
|
149,7
|
227,7
|
69,1
|
143,5
|
Tabel
4.6. Data Hasil Perhitungan Karbon
Petak
|
Kandungan Karbon Menggunakan Allometrik Biomassa Brown
|
Kandungan Karbon Menggunakan Allometrik Biomassa Kettering et
al.
|
||
Tahun 2007 (Ton/Ha)
|
Tahun 2015 (Ton/Ha)
|
Tahun 2007 (Ton/Ha)
|
Tahun 2015 (Ton/Ha)
|
|
C14
|
39.9
|
34.4
|
84.4
|
69.9
|
C15
|
35.2
|
40.5
|
73.7
|
90.9
|
D14
|
29.3
|
32.6
|
57.9
|
63.6
|
D15
|
41.4
|
30.8
|
83.5
|
62.5
|
Rata-Rata per ha
|
36.4
|
34.6
|
74.9
|
71.7
|
Dengan
menggunakan pendekatan persamaan Brown (1997) dan persamaan Kettering et al.
(2001) maka diperoleh biomassa dan cadangan karbon di lokasi penelitian yaitu
Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (HPFKU) Samarinda.
Dari
hasil pengukuran tegakan tahun 2007 pada 4 petak penelitian, untuk semua pohon
dengan diameter lebih dari atau sama dengan 10 cm, didapatkan rata-rata volume
244.6 m³ dan biomassa menurut persamaan Brown (1997) adalah 72,9 ton/ha serta
rata-rata karbonnya adalah 36,4 ton karbon/ha. Sedangkan pada tahun 2015 didapatkan
rata-rata volume 227.8 m³ dan biomassa menurut persamaan Brown (1997) adalah 69,1
ton/ha serta rata-rata karbonnya adalah 34,6 ton karbon/ha, terjadi penurunan
jumlah volume maupun biomassa pada pengukuran tahun 2015 di sebabkan kerusakan
areal petak penelitian akibat endapan lumpur di sekitar sungai.
Dari
kedua persamaan tersebut terlihat bahwa persamaan Brown (1997) menghasilkan
nilai yang lebih kecil daripada persamaan Kettering et al. (2001), hal ini
dikarenakan persamaan Kettering et al. (2001) menggunakan dua parameter yang
diukur yaitu diameter dan berat jenis rataan hutan, sedangkan persamaan Brown
(1997) hanya menggunakan satu parameter yang diukur yaitu diameter pohonnya
saja, sehingga hasil dari persamaan Brown (1997) lebih akurat dan mendekati
dibandingkan dengan hasil dari persamaan Kettering et al (2001) Karena persamaan
Brown sejauh ini digunakan untuk hutan tropis multi-spesies di Indonesia yang
telah diterbitkan dan pengembangannya persamaan alometrik untuk hutan tropis
yang menggunakan data yang dikumpulkan dari Kalimantan dan daerah tropis
lainnya.
Dari
Tabel 4.5 dapat digambarkan rata-rata per hektar volume (m³) dan biomassa (ton)
masing-masing petak pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.11. Grafik perbandingan nilai volume (m³) dan
biomassa (ton) menggunakan allometrik Brown (1997).
Dari Tabel 4.6 dapat
digambarkan penyerapan karbon rata-rata per hektar tahun 2007 dan 2015) pada
gambar di bawah ini :
Gambar 4.12. Grafik
perbandingan karbon menggunakan persamaan Brown dan Kettering et al.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian
yang dilakukan di Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman,
dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengukuran petak penelitian tahun 2007 rataan jumlah
pohon per hektar pada tegakan adalah 365 pohon dengan basal area rataan sebesar
15,65 m². Sedangkan pengukuran tahun 2015 terlihat bahwa rataan jumlah pohon
per hektar pada tegakan adalah 246 pohon dengan basal area rataan sebesar 14,5
m².
2. Distribusi tegakan dengan menggunakan analysis histogram
pada petak penelitian berbentuk J terbalik dimana tanaman terbanyak pada kelas
diameter 10cm - 19.9cm presentasenya sekitar 72.9% tahun 2007 dan 54.8% tahun
2015 dari total pohon, sedangkan pohon dengan kelas diameter lebih dari sama dengan
20 cm memiliki presentase cukup kecil yaitu 12.1% tahun 2007 dan 45.2% tahun
2015. Dengan demikian petak penelitian didominasi dengan jumlah pohon terbanyak
pada kelas diameter 10cm - 19.9cm.
3. Hubungan antara diameter dengan tinggi total tegakan
disusun dengan diagram pencar hubungan diameter
dan tinggi total model (Scatter diagram
of height and diameter relationship models) diperoleh nilai r-hitung
(0.515, 0.386, 0.448, 0.530) keeratan hubungan antara diameter dan tinggi dari
nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1 maka semakin signifikan.
4.
Rata-rata
berat biomassa dan kandungan karbon setiap petak yang tersimpan pada tegakan
dalam petak penelitian dengan luasan 4 hektar pada tahun 2007 pada petak penelitian, untuk semua pohon
dengan diameter lebih dari 10 cm, didapatkan rata-rata biomassa menurut
persamaan Brown (1997) adalah 72,9 ton/ha dan rata-rata karbonnya adalah 36,4
ton karbon/ha. Sedangkan pada tahun 2015 didapatkan rata-rata biomassa menurut
persamaan Brown (1997) adalah 69,1 ton/ha dan rata-rata karbonnya adalah 34,6
ton karbon/ha.
B.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil
penelitian ini adalah :
1. Mengingat tidak terdapat batas petak perlu adanya label
permanen untuk penelitian berkelanjutan
pada petak penelitian agar dapat diketahui secara rinci pertumbuhan riap
tegakan pada masing masing jenis pohon.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pendugaan
biomassa dan cadangan karbon dengan menggunakan allometrik yang berbeda.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah L., 2003. Recruitment,
Ingrowth, and mortality Beberapa Kelompok Jenis Pohon Pada Hutan Alam Bekas
Tebangan : kasus di HPH PT. Tunggal Agathis Indah Wood Industries, Halmahera
Tengah [skripsi].Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Abdurachman, 2008. Struktur Tegakan Pada Hutan Alam Bekas Tebangan. Balai
Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Agus, 2004. Inventarisasi Hasil-Hasil Penelitian Tentang Pertumbuhan Hutan Dan
Pengaturan Hasil Hutan Di Indonesia. Skripsi Fakultas Kehutanan Insititut
Pertanian Bogor. Bogor.
Alder D., 1995. Growth Modeling For Mixed
Tropical Forest. Oxford University. Institut Departement of Pant Science
University of Oxford. Tropical Forestry Paper No.30.
Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015. Samarinda Dalam Angka. BPS Kota Samarinda. Katalog BPS : 1102001.6472
Basuki, 2012. Quantifying Tropical Forest
Biomass. Disertasi Universitas Twente. Departemen Printing ITC .
Bratawinata, A., 1994. Klasifikasi Tegakan Hutan di Kalimantan Timur/Indonesia
Berdasarkan Ciri-ciri Floristik dan Strukturnya. Mulawarman University Report
No. 1 (eds. Ruhiyat, D. And A. Schulte). Indonesia – German Forestry
Project/GTZ. Samarinda.
Brown S, Gillespie A, Lugo AE., 1989. Biomass estimation methods for tropical forests with
applications to forest inventory data. Forest Science 35: 881–902.
Brown, Sandra, 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical
Forests: a Primer. (FAO Forestry Paper - 134). FAO, Rome.
Catterson, 1994. Forest Ecology and Flora Of
West Sumatera. Biogeochemistry.
Cholifah, 2008. Pemetaan Tata Drainase Hutan Pendidikan Kebun Raya Unmul Samarinda.
Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda.
Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di
Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Prestasi pada Pusdiklat
Kehutanan. Bogor.33 hal.
Davis, L. and K. N. Johnson, 1987. Forest Managenlent. Third edition. Mc Graw Hill Book Co.
New York.
Departemen Kehutanan, 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Fadhli, 2009. Pendugaan Potensi Karbon dan Limbah Pemanenan Pada Tegakan Acacia Mangium Willd (Studi Kasus di
BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten).
Skripsi Jurusan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Tidak dipublikasikan.
Irwanto, 2006. Dinamika dan Pertumbuhan Hutan Sekunder. Yogyakarta
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan., 2016. Data Luas Kebakaran. http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran, 10 maret 2016
Ketterings QM, Coe R, van Noordwijk M, Ambagau Y, Palm
CA, 2001.Reducing uncertainty in the use of allometric biomass
equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests.
Forest Ecology and Management
146: 199–209.
Lamprecht, 1986. Soil And Plant Ecology. Oxford Unniversity. Beverly Hills.
Loetch, F. Zohrer, F. And Haller, K.E., 1973. Forest Inventory
Vol II. Forest Inventory Section. Federal Research Organization Far Forest and
Forest Product, Reinbeck. BLV. Verlagsgeselll Schaft Munchen Bern Wien.
Muhdin, 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pendugaan Volume Pohon. Program
Pasca Sarjana Insititut Pertanian Bogor. Bogor.
Richard, P.W., 1979. The Tropical Rain
Forest An Ecological Study. Combridge University Prees. Combridge.
Riyantini. T., 1987. Studi Riap Tegakan Agathis loranthfoliu Salisb, di KPH
Banyumas Timur. Skripsi Jurusan Manajemen Hutzn Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan
Burns. Wildfire 7(7) : 19-21.
Soeriatmadja, R.E., 1997. Dampak Kebakaran Hutan Serta Daya Tanggap Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Terhadapnya. Prosidung Simposium: “Dampak
Kebakaraan Hutan terhadap sumber Daya Alam Terhadap Lingkungan”. Tanggal 16
Desember 1997 di Yogyakarta. Hal: 36-39.
Suhardiman, A., 2008. Pengembangan Sistem Informasi Hutan Pendidikan dan
Penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman di Areal Kebun Raya Unmul
Samarinda. Jurnal Agrifor Vol 7: 53-62.
Suharlan, A. dan Y. Sudiono, 1976. llmu Ukur Kayu. Bagian Pendidikan Direktorat Jenderal
Kehutanan. Jakarta.
Susanty, F.H., 2003. Pembangunan Petak Ukur Permanen dalam Rangka Pemantauan
Pertumbuhan dan Kajian RIL di PT Sumalindo Lestari Jaya II. Laporan Tahunan
Balai Litbang kehutanan Kalimantan. Samarinda.
Susanty, F.H., 2003. Pembangunan Petak Ukur Permanen dalam Rangka Pemantauan
Pertumbuhan dan Kajian RIL di PT. Sumalindo Lestari Jaya II. Laporan Tahunan
Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Samarinda.
Sutisna, M dan A. Suyana., 1997. Pengaruh Intensitas Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia
Terhadap Struktur Tegakan Tinggal. Report Kerjasama Litbanghut – Unmul.
Samarinda.
Sutisna, M dan D., Ruhiyat, 1999. Pengkajian Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. Report
kerjasama Litbanghut – Unmul. Samarinda.
Temmy, 2009. Studi Ketelitian Pengukuran Volume Pohon Dengan Rumus Preseler Pada
Tegakan Puspa di Kebun Raya Unmul samarinda. Skripsi Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Toto, 1995. Pertumbuhan Shorea parvivolia Dyer,
Dryobalanops beccarii Dyer. Dan Dipterocarpus
humeratus Sloot, Pada Lahan Bekas Ladang dan Lahan Hutan Sekunder Di Hutan
Peraga Bukit Suharto. Skripsi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Samarinda.
Komentar
Posting Komentar