EDY SANG API
Hari
ini tanggal 2 juni 2015 aku mulai mengetik cerpen yang mungkin merupakan
curahan hati seorang mahasiswa perantauan. Menjadi seorang perantau bukanlah
hal yang nyaman terkadang di benakku sebelum berangkat ke tanah rantau ini
disana aku dapat mendapatkan gadis idaman dengan mudah walaupun muka pas pasan.
Tapi bukan itu tujuan utamaku ke negeri para saudagar kaya ini aku berasal dari
kampung yang kaya pangan,sandang, papan disitulah zona nyaman bagiku banyak
teman seumuran bekerja meneruskan pekerjaan orang tua nya mungkin aku spesies
unik yang memiliki visi beda dengan teman temanku yang mau lepas dari kebiasaan
orang kampung. Aku adalah anak laki laki semata wayang yang lahir dalam
keluarga sederhana bapak ibuku seorang petani karena beliau berdua aku bisa
mencicipi pendidikan di negeri ini, banyak orang bertanya tanya buat apa kuliah
ditempat yang isi nya cuman hutan belantara dan saat itulah aku hanya bisa
menjawab aku dapat beasiswa, suatu pertanyaan yang sering kali membuatku merasa
lemah tapi tidak inilah jalanku yang kupilih, kedua orang tua ku menyarankan
aku kuliah di kampung tapi karena jiwa ini selalu pengen tahu hal hal baru aku
tetap pada pendirianku aku harus kuliah di tempat tumbuhnya si ulin. Dan tidak
punya sanak saudara di perantauan ini membuatku berfikir keras, kisah ini kumulai
dengan bertiga teman satu angkatan smk yang dalam mitologi jawa bahwa tidak
boleh merantau dalam jumlah ganjil nanti ada yang menyerah di akhir jalan tidak
kuhiraukan semua itu tidak juga tuhanku mitologi jawa. Perjalanan di perantauan
ini dimulai dari menumpang dan numpang suatu kata kata yang membuatku muak dan
jenuh akan hal itu tapi penulis berjiwa ulin maksudnya semangatnya sekuat kayu
ulin semakin berusaha di hancurkan maka semakin keras pula tak tergoyahkan
kekuatnnya. Setelah ditempat perantauan kami bertiga mulai kelihatan antara
teman mana lawan dan disitulah titik terberat dimana aku ditinggal dengan teman
temanku seperti anak burung yang di tinggal induknya tidak tahu jalan, tidak
bisa kemana mana yang ku punya saat itu hanyalah tekad yang semakin mengeras
semangat yang berapi api pada akhirnya aku dapat melewati fase itu jiwa ini
ingin membalas semua itu tapi aku sadar yang kupunya saat ini hanyalah teman
yang mungkin bagiku sudah seperti sampah. Setelah itu aku ketemu orang aneh dan
disitulah aku tinggal untuk yang kedua kalinya ibarat habis keluar lubang jarum
masuk lubang buaya tinggal selama satu tahun membuatku seperti anjing yang
selalu setia pada majikan semenjak itulah saya sadar suatu saat kalau aku sudah
sukses ingin menolong para mahasiswa perantau, ku ibaratkan aku tinggal setahun
dengan temanku itu kembali ke zaman penjajahn jepang salah sedikit dicaci maki
benar tidak di puji seperti itu lah hari hari ku yang kujalani menjadi sampah. Tapi
karena rejeki anak soleh mungkin aku izin pada orang tua beliau adalah orang
yang selalu pengen menetap pada satu tempat aku berusaha membujuknya dan ya
akhirnya aku keluar dari tempat sampah yang isinya didalam hanyalah sampah
sampah yang nggak ada manfaatnya. Ya alhamdulillah aku merasakan hal hal yang
dulu dan aku selalu ku ingat “kamu disini hanyalah menumpang jadi jangan sok
sok an” kata kata itu telah masuk kedalam aliran darahku yang akan menjadi
penyemangat untuk membalas apa yang pernah di ucapkan dan akan kubuat membayar
apa yang telah di ucapkan......
Bersambung!
Komentar
Posting Komentar